Sunday, August 24, 2008

Degradasi Upah dan Gerakan Buruh Untuk Perubahan

M. Prabowo Luh Santosa

Kenyataan menunjukkan betapa sengsaranya buruh di Indonesia. Berbagai diskusi dan pelatihan pengorganisasian buruh selalu mengurutkan nomor satu persoalan upah. Pada simulasi pelatihan tersebut saat peserta diminta menyebut lima persoalan pokok niscaya semua mengatakan upah. Tetapi begitu bicara nomor berikutnya, dari nomor dua sampai lima, jawaban peserta satu sama lain berbeda. Upah selalu menyedot perhatian luas mengingat perseteruan abadi buruh dan majikan, termasuk melawan negara —yang seolah tak terdamaikan.

Dalam ekonomi, pemodal hanya berpikir untung sebesar-besarnya dan pengeluaran sekecil-kecilnya. Pasar dijalankan oleh hukum persediaan dan permintaan. Ekonomi liberal memaksa buruh berhadapan langsung dengan pengusaha. Tetapi di Indonesia, tatanan budaya feodal agaknya masih terpelihara yang sebetulnya sangat merugikan kaum buruh dan menguntungkan pemodal. Atasnama unggah-ungguh dalam hubungan sosial antara buruh dan kaum modal, segera terbentuk posisi subordinasi (tertindas) dan dominasi (penindas).

Kalau kita mengutip kiat dunia pemasaran, faktor penentu dalam ‘membeli’ adalah uang (money), pengambil keputusan (authority) dan kebutuhan (need). Hal utama merangsang dorongan orang mau membelanjakan uangnya ialah membuat segala sesuatu sebagai kebutuhan. Contoh berikut kiranya menggambarkan maksud tersebut. Pekerja pompa bensin yang setiap hari pegang uang dan perlu suatu barang, tidak dapat membelanjakan uang ini lantaran bukan pemilik atas uang sehingga ia bukan pengambil keputusan. Sementara orang yang pegang uang dan memilikinya, tidak serta merta membelanjakan barangnya jika tidak membutuhkan.

Sesuai prinsip ekonomi liberal, pada gilirannya nanti berlaku sistem produksi massal. Kebutuhan masyarakat dikendalikan melalui produksi komoditas massal. Dewasa ini dicontohkan oleh handphone (HP) yang penggunaannya memasyarakat. Banyak perusahaan awalnya menggunakan tenaga manusia dalam jumlah besar untuk produksi barang komoditas. Namun kini mulai beralih menggunakan mekanik dan otomatisasi kerja berupa robot.

Sebuah perusahaan yang semula mengerahkan 12.000 buruh guna memroduksi 12.000 m3 papan dalam sebulan, akan segera berubah saat mesin digunakan dalam produksi. Penggunaan robot dan mesin canggih berhasil mengurangkan tenaga sampai hanya sebanyak 120 orang dengan kapasitas produksi sama sebelumnya 12.000 m3 untuk sebulan. Perusahaan diuntungkan investasi pembelian mesin dan pengurangan tenaga kerja mengingat upah tetap yang dibayarkan lebih efisien. Lambat laun mekanisasi dan efisiensi menghasilkan sistem produksi yang bersifat massal. Meski tetap saja buruh sebagai operator mesin. Di perusahaan tersebut akhirnya tanpa disadari satu buruh dapat menghasilkan 100 m3 papan sebulan.

Dalam produksi massal ada pula kompetisi. Kompetisi atau persaingan memaksa pengusaha melakukan apa saja. Mereka modifikasi proses usaha dengan beranggapan upah buruh sebagai pengeluaran yang harus ditekan. Lalu mengalihkan investasinya ke pemasaran. Efisiensi dilakukan sejauh tidak terjadi pemborosan, dan tidak memrediksi berapa banyak barang harus diproduksi guna menjejali kebutuhan masyarakat. Akibatnya limbah barang kadaluarsa menjadi berlimpah dan buruh juga yang harus menanggungnya.


Degradasi oleh Negara

Negara ibarat sosok imajiner yang diciptakan rakyat. Jika tidak ada rakyat yang membentuk suku, dan suku membentuk bangsa, maka tidak akan ada negara. Rakyat itu basis adanya negara. Negara berperan melindungi hak-hak dan menyejahterakan rakyatnya. Pidato Presiden Soekarno pada hari Lahir Pancasila menandaskan gagasan tentang Indonesia yang merdeka. Indonesia yang dibangun dari semua untuk semua berlandaskan kebangsaan.

Selanjutnya pemikiran-pemikiran Soekarno diarahkan pada tata pembangunan kebangsaan dengan format perekonomian nasional seperti diisyaratkan dalam Sila ke-5 Pancasila, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Keadilan sosial disejajarkan dengan kesejahteraan sosial seperti ia pidatokan, “Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-ecomische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial”.

Cara pandang negara terhadap kelas pekerja telah bergeser dan semakin menjauhkan dari peran negara yang seharusnya. Alih-alih menyejahterakan rakyat (pekerja), memandang sebagai manusia pun sudah tidak lagi. Pekerja adalah mesin besar pencetak laba dan penghasil pajak. UUD 1945 pasal 27 (2) menerangkan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.

Penghidupan layak bagi kemanusiaan tidak berarti menarik investasi agar tersedia lapangan kerja. Bukankah cara efektif mengundang investor dengan menciptakan daya pesona sebesar-besarnya. Daya tarik pesona itu berupa upah buruh murah dan pasar lentur tenaga kerja (flexibility labour market). Ini kompetisi pasar yang mengagungkan falsafah “butuh hanya pada saat dibutuhkan”.

Prof. Mr. Muhammad Yamin menjelaskan terkait pasal 33 UUD 1945, “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan” sebagai berikut: bahwa projek pembangunan semesta akan berbentuk juridis perusahaan-negara, perusahaan-masjarakat dan memuliakan prinsip hak-milik berfungsi sosial. Seluruhnja adalah dalam rangka dan perkembangan perekonomian kekeluargaan, sehingga pengartian hak-milik setjara pemilikan-liberal tidak didjamin oleh Undang-undang Dasar 1945 pasal 33.

Pergeseran peran negara dapat dibandingkan antara UU No. 22/1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dengan UU No. 2/2004 tentang Pengadilan Hubungan Industrial. Pada produk UU tahun 1957 itu ditegaskan negara melindungi kaum yang lemah, sedang UU tahun 2004 ini mengadu bebas buruh versus pengusaha di pengadilan. Negara hanya melihat persoalan hubungan industrial sebagai persoalan perdata (private) tanpa melihat aspek sosial-ekonomi-politik yang melingkupi hubungan industrial tersebut. Buruh dianggap hanya seseorang sehingga persoalan perburuhan itu urusan individu buruh.

Sebagaimana pasal 27 (2) UUD 1945 dan UU No. 14 tahun 1969 tentang Pokok-pokok Ketenagakerjaan, pada pasal 3 disebutkan, “Setiap tenaga kerja berhak atas penghasilan yang layak bagi kemanusiaan”. Begitu pula UU No.1/1968 tentang PMA, yang mana semua itu terjadi di tahun awal kekuasaan Orde Baru. Stabilisasi ekonomi dikendalikan bersamaan dengan buruh murah, dan secara politk kosa kata “buruh” diganti “tenaga kerja”.

Degradasi pengertian upah terus merosot maknanya setelah diperkenalkan oleh Dewan Penelitian Pengupahan Nasional tahun 1970, yang menyebutkan bahwa: “Upah adalah suatu penerimaan sebagai suatu imbalan dari pemberi kerja untuk pekerjaan atau jasa yang telah dan akan dilakukan, berfungsi sebagai kelangsungan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan produksi, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk yang ditetapkan dalam bentuk suatu persetujuan, UU, peraturan-peraturan dan dibayar atas dasar suatu perjanjian kerja antara pemberi kerja dan penerima kerja”.

Makna upah beralih dari “hak” menjadi “imbalan”. Pengertian upah di sini mengandung fungsi kelangsungan hidup layak bagi kemanusiaan. Upah bukan sebagai sebuah pendapatan hak buruh, tetapi imbalan biar buruh bisa tetap hidup (survive). Proses penggeseran makna upah terus berlanjut hingga PP No. 8 tahun 1981 tentang Perlindungan Upah menyatakan bahwa: “Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada buruh untuk sesuatu pekerjaaan atau jasa yang telah atau yang akan dilakukan atau dinilai dalam bentuk uang yang diterapkan menurut suatu persetujuan atau peraturan perundangan yang dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan buruh termasuk tunjangan untuk buruh sendiri maupun keluarga.”

Pendefinisian makna upah semakin merosot luar biasa saat istilah “layak” dan “kemanusiaan” tak lagi dipergunakan. Upah seolah sekadar belas kasihan majikan atau berwujud imbalan yang diterimakan, baik bagi diri buruh ataupun keluarga. Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. Per-05/Men/1989, pasal 1 huruf (a) menyebutkan bahwa: “Upah minimum adalah pokok terendah belum termasuk tunjangan-tunjangan yang diberikan kepada pekerja”.

Penyebutan upah minimum pada Permenaker ini sebenarnya merupakan upah standar. Kalau ditelusur jauh ke belakang, rezim upah minimum ini dilatari atas penghitungan Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) yang pernah disusun Kabinet Juanda tahun 1957. Seterusnya, perubahan penghitungan upah minimum dari KFM menjadi KHM tertuang dalam Kepmenaker RI No.81/Men/1995. Konsep KHM cenderung bias jender dan mengabaikan hak kodrati berkeluarga (termasuk hak reproduksi) karena hanya mengakui buruh lajang laki-laki.

Kritik terhadap substansi upah minimum sebagai upah standard harus diletakkan pada mengubah perhitungan minimum. Satu per satu komponen upah dicampur aduk, bahkan direduksi maknanya, sebagaimana disebut dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. Per-01/Men/1999, yakni: “Upah minimum adalah upah pokok termasuk tunjangan-tunjangan”. Degradasi pengertian upah terus saja terjadi. Sebelumnya upah minimum merupakan upah pokok semata, maka kemudian meliputi juga unsur tunjangan-tunjangan sebagai bagian unsur upah.

Terbitnya UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang menjadi pengganti UU No.25/1997 juga tak mengubah substansi persoalan buruh. Di sana disebutkan: “Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan”.

Tidak adanya kata “layak” dan “kemanusiaan” cukup jelas membuktikan pengertian upah per definisi tak ada perubahan. Istilah “layak” muncul pada Bab X Bagian Kedua tentang Pengupahan di mana pasal 88 tak lebih pengulangan dari UUD 1945 Pasal 27 (2), di mana kemudian pasal 88 (4) makna “kelayakan” meliputi syarat tambahan berupa “....dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi”. Ini berarti hak penghidupan layak akan diberikan kepada buruh sejauh menunjang produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Pertanyaannya, bagaimana dan dengan cara apa produktivitas diukur? Bagaimana mungkin buruh menanggung kegagalan pertumbuhan ekonomi nasional yang faktor-faktor penyebabnya tidak datang dari kinerja produktivitas buruh?

Pasal 89 (4) menegaskan KHL sebagai capaian yang direalisasikan secara bertahap. Dampak praktis dari pasal ini dapat dilihat atas contoh, a.l: Penetapan UMK kabupaten Kendal 2007 diproyeksikan sebesar 99,3 persen dari KHL (perhitungan KHL saat itu adalah Rp.634.134) tetapi Pemkab Kendal akhirnya menyetujui usulan Dewan Pengupahan Kabupaten sebesar Rp.615.000, atau justru mundur menjadi 92,5 persen. Kebijakan UMK Kendal ini memicu perlawanan Aliansi Buruh Bergerak (ABB) pada 24 Oktober 2007 yang saat itu diwarnai bentrokan dengan Polri dan Satpol PP, sebelum akhirnya diterima Ketua DPRD Kendal (sumber: Dewan Buruh Kabupaten Kendal).

Tentu, kasus pengalaman Kendal terjadi juga di daerah lain. Kerapkali malah pengurus SB atau SPUK tidak tahu siapa yang mewakili mereka di Dewan Pengupahan Kabupaten (DPK). Malah ironinya, seorang perwakilan dari unsur buruh dalam DPK ternyata manajer personalia (HRD) sebuah perusahaan. Sementara dari Semarang, DPC SPN Kota Semarang pada 6 November 2007 menggelar aksi ribuan buruh menolak UMK 2007 karena tidak menyertakan komponen perhitungan inflasi tahun depan dan hanya berdasar KHL saja. Padahal kenaikan minyak mentah dunia sampai 100 dolar AS per barel dikawatirkan memicu inflasi tak terkendali.


Peran SB Memajukan Demokratisasi

Kemunculan SB-SB paska 1998 beragam bentuk dan kegiatan. Namun, harapan perubahan perikehidupan buruh tak juga langsung terwujud. Banyak aturan perundang-undangan yang justru memperlemah peranan SB sehingga perubahan menuju kesejahteraan dan keadilan sosial masih jauh panggang dari api. Saat ini jumlah SB ataupun federasi SB di Indonesia amatlah besar, tapi tak juga mendorong perbaikan sosial ekonomi buruh. Beberapa hal disebabkan, a.l:

1. Terkikisnya Ideologi Perjuangan SB

Pilihan mengganti ‘gerbong’ SB lama ke ‘gerbong’ baru lebih diakibatkan dorongan aktivisnya, atau jutru sekadar ‘asal beda’ dengan mengganti nama saja. Seharusnya perpindahan/pergantian ‘gerbong’ didasarkan kesadaran ideologi tentang keberadaan pertentangan buruh, posisi kaum buruh dan kesadaran kepeloporan perubahan. Di masa awal reformasi, massa buruh menaruh harapan besar terhadap perubahan kinerja SB, namun demikian nyatanya terjebak lebih moderat dan lembam dalam menghadapi campur tangan negara untuk mengatur dan membatasi gerakan buruh.

2. SB Tidak Bekerja Optimal

Motor kerja SB pada pengorganisasian, pendidikan dan advokasi (baik kasus maupun kebijakan) ternyata tidak berjalan baik, dan bahkan pada proses tertentu terputus. UU PPHI cukup menguras energi SB namun sebagian diantaranya tanpa back up daya dukung bagian lain dan hanya menjalankan advokasi (mungkin pilihan ini akibat motif ekonomis) dengan mengabaikan dua metode kerja lainnya. Ironi terjadi saat ada kasus mereka justru diam. Kalau toh ada program, misalnya pendidikan, metode pelaksanaan kegiatannya tak lebih gaya sekolahan (guru-murid, dokter-pasien) dan semata memenuhi laporan funding.
Di lapangan politik, kaum buruh melalui perserikatan organisasinya secara umum belum mampu mendesakkan tuntutan dan mempengaruhi pemenuhan hak-hak buruh. Dalam kasus tertentu memang ada contoh kemenangannya. Misalnya, akhir tahun 2000 gelombang protes ribuan —bahkan puluhan ribu buruh menggeruduk Kantor Gubernur Jawa Tengah akhirnya berhasil membatalkan SK UMP Jawa Tengah dengan pernyataan langsung Gubernur dihadapan massa buruh.

3. Aristokrasi Pimpinan Pengurus SB

Seringkali perilaku sikap pimpinan SB cenderung elitis, formalis, jauh dari massa, dll. Tak ubahnya intelektual konservatif, mereka justru mengekor kepentingan “bangunan atas”. Mereka tidak terlibat dalam ajang pengorganisasian dan pendidikan yang partisipatif. Malah menilai aksi massa sudah bukan lagi zamannya. Di antaranya justru terjebak kriminalisasi gerakan buruh.

4. Gagal Mentransfer Pengetahuan Gerakan di Kalangan SB

Di antara pimpinan SB cenderung “menabung” sendiri pengetahuannya dan kurang mengupayakan transfer, distribusi, sosialisasi, diskusi, dan sharring terhadap jajaran kolektif anggotanya.

5. Hilangnya Solidaritas dan Pilihan Menjadi Solitaire Union

Sekalipun beberapa SB memiliki hirarki struktural, tetapi nyatanya tidak cukup punya jaringan. Tak ubahnya sekadar solitaire union pada struktur tertentu. Tentu ini sangat disukai kaum modal.

Penutup

Problema pengupahan dalam kesejahteraan buruh mempertegas ketidaksesuaian tujuan pendirian negara dengan kenyataan faktual. Buruh hanya ditempatkan sebagai “sekrup kecil dalam mesin besar”, jauh dari kehendak mewujudkan keadilan dan kesejahteran sosial. Bersandar inilah perlu sekiranya dipikirkan konsep standar pengupahan berbasis Pendapatan Layak, Berkeadilan Sosial dan Manusiawi (PLBM).

Konsepsi PLBM sekaligus mengembalikan fungsi Negara agar menempatkan buruh sebagai manusia dengan menanggung kesejahteraan yang berkeadilan sosial. Tanggungjawab ini meliputi tiga komponen, yakni jaminan pekerjaan, jaminan pendapatan, dan jaminan sosial. Sebab buruh tak lagi bisa dianggap orang seorang saja.


Penulis adalah anggota PSB yang sejak tahun 1994 berkecimpung dalam serikat buruh menjadi PUK. Pernah bekerja sebagai office boy, satpam, teknisi, supervisor, dan marketing. Sekarang menjadi Sekretaris DPW Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Jawa Tengah.
Solidaritas | Pikiran Kritis | Edisi IV | Tahun VII | November 2007