Thursday, January 11, 2007

Potet Upah Buruh

Dahulu, sebelum masa krisis (masa ORBA) serikat buruh independen tidak boleh hidup di Indonesia. Pemerintah saat itu lebih mementingkan sisi pengusaha dibandingkan sisi buruh. Buruh tidak berdaya melawan ‘organsisasi’ pemerintah dan pengusaha. Melawan paduan kekuasaan dan uang. Akibatnya buruh selalu menjadi marginal (terpinggirkan), bahkan dalam hitungan ongkos produksi pun gaji buruh merupakan elemen yang terendah dalam prosentase biaya-biaya produksi. Kesepakatan bipartit tentu tidak pernah bisa membela buruh yang pada saat itu dalam posisi yang sangat lemah (bahkan sebagian besar perusahaan melarang organisasi buruh) sementara lembaga tripartit menjadi pseudo institution (institusi semu) yang sama sekali tidak bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan buruh.

Hal ini wajar sebab pemerintahan saat itu berasumsi bahwa pembangunan memang bukan untuk pemerataan kesejahteraan melainkan untuk pertumbuhan ekonomi dan perluasan lapangan kerja untuk menyerap pertumbuhan angkatan kerja, walaupun fakta berkata semua intervensi pemerintah pada waktu itu justru menimbulkan akumulasi inefisiensi yang menyebabkan kita bangkrut. Industri kita penuh dengan subsidi yang salah sasaran, sedangkan pemerintahnya penuh dengan tindak korupsi. Keringat buruhlah yang membuat pengusaha dan koruptor bisa memiliki kemewahan seperti sekarang.

Bagaimana keadaan buruh sekarang? Di era reformasi secara politik buruh boleh demonstrasi meminta kenaikan upah boleh berorganisasi secara independen. Di sisi lain, secara ekonomi, kita sedang mengalami depresi ekonomi. Kenaikan upah secara teori, jika tidak berimbang dengan kenaikan produktivitas, akan mengakibatkan pengurangan di lapangan kerja. Artinya tarik menarik antara kenaikan upah dan dengan penciptaan lapangan kerja (paling tidak dengan mempertahankan buruh yang ada) akan berdampak pada resiko gejolak sosial jika kedua belah pihak tidak dapat menemukan jalan keluar yang ‘adil‘ bagi kedua belah pihak. Gejolak sosial inilah yang akan kita bayar jika kita memiliki pandangan myopic (picik). Posisi buruh secara riil tidak berubah dari tempatnya semula. Lemah terhadap negara dan pengusaha. Sama sekali tidak memiliki bargain (posisi penawaran).

Posisi buruh sekarang jika tetap ingin menda-patkan kehidupan yang lebih baik akan berhadapan dengan [1] PHK massal, karena pengusaha akan mengganti investasi padat karya dengan padat modal, memilih investasi ke luar negeri atau membangkrutkan perusahaannya; [2] Skorsing atau merumahkan buruh dengan alasan efisiensi ataupun disinsentif terhadap buruh yang ‘bandel’; [3] Pembersihan terhadap aktivis buruh dan larangan untuk melakukan serikat buruh; [4] Upah yang rendah, kenaikan UMP/UMK tetap tidak sebanding dengan kenaikan kebutuhan hidup minimum, apalagi bicara tentang proteksi masa depan.

Bagaimana reaksi pemerintah? Pemerintah memiliki kebijakan untuk memberlakukan upah minimum regional (seperti UMP/UMK ini) yang berbeda bagi setiap daerah untuk menetapkan sendiri sesuai dengan [1] Kebutuhan hidup minimum (KHM) yang dihitung dari indeks harga konsumen (IHK) dari Biro Pusat Statistik (BPS) yaitu kelompok pangan, kelompok papan, kelompok sandang dan kelompok lain-lain; [2] IHK dari Biro Pusat Statistik Daerah; [3] Kemampuan, perkembangan dan kelangsungan perusahaan; [4] Tingkat upah pada umumnya yang berlaku didaerah tertentu dan antar daerah (provinsi); [5] Kondisi pasar kerja; [6] Tingkat perkembangan ekonomi dan pendapatan perkapita (sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 01/Men/1999 tentang upah minimum). Ada kado untuk buruh yang diberikan oleh rezim Pemerintahan Megawati yaitu UU no 13 th. 2003 yang sudah mulai berlaku tapi di tingkat pelaksanaan masih membutuhkan penjabaran lebih rinci lagi melalui Keppres, peraturan pemerintah, dan Kepmen hingga saat ini belum ada walaupun menurut janji Yakob Nuawea sebagai menteri tenaga kerja adalah 6 (enam) bulan setelah disahkan 20 Februari 2003. Pada kenyataannya hal itu tidak bisa diwujudkan.

Menurut penelitian Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada tahun 2001 seperti dikutip Kompas (13/01/02), belanja riil buruh diluar KHM adalah Rp. 331.380,52 dan jika ditambah KHM menjadi Rp. 833.585,00 dengan catatan itu masih lajang! Buruh menikah tapi belum memiliki anak menghabiskan Rp. 350.000,19 dengan KHM menjadi Rp. 902.544,00. Buruh yang memiliki anak satu menghabiskan Rp. 369.312,92 atau dengan KHM sekitar Rp. 1.021.366,00. Buruh dengan dua anak menghabiskan Rp. 419.757,59 atau dengan KHM Rp. 1.205.115,00. Buruh dengan tiga anak menghabiskan Rp. 496.538,53 atau dengan KHM Rp. 1.399.333,00. Mungkin kita bertanya,” perhitungan tersebut kan tidak resmi?” Selama ini kita hanya tahu tim pengupahan dan LKS (Lembaga Kerjasama) Tripartit yang difasilitasi oleh Pemerintah dan lembaga ini nantinya hanya merekomendasikan kepada Gubernur tapi tidak mempunyai kewenangan secara langsung dalam menetapkan upah daerah, artinya keputusan final tetap ada ditangan Gubernur. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa KHM sejak tahun 1996 tidak pernah diberikan 100%. Di sini jelas sekali keberpihakkan pemerintah terhadap pengusaha.

Dalam pandangan kami LP3ES adalah lembaga independen yang mempunyai kepedulian terhadap kondisi upah buruh yang kemudian melakukan penelitian, mudah–mudahan hasil tersebut bisa untuk pembanding tentang kebutuhan hidup buruh sebenarnya. Sekarang jika berharap bahwa perhitungan didasarkan dari perbandingan upah antar wilayah, hasilnya pun akan tidak jauh berbeda mengingat situasi dan kondisi makro yang sama yang disebabkan gagalnya institusi pasar dan pemerintah pada berbagai sektor ekonomi. Pemerintah jangan cuma sok-sokan membela kaum buruh, namun distorsi terhadap pasar jauh lebih besar dampaknya dalam memiskinkan buruh dan masyarakat. Juga kebijakan (regulasi) yang menimbulkan biaya transaksi yang tinggi terhadap dunia usaha itu harus dikurangi. Belum lagi upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana ekonomi (skala kecil, besar, dan raksasa) yang masih belum kelihatan aktualisasinya. Dan segudang masalah lain yang selalu menyertai dunia usaha ketika pemerintah mengintervensi pasar hasilnya selalu kontraproduktif terhadap alokasi sumberdaya yang efisien.

Berharap kepada pengusaha? Sebagian besar merasa seperti berhakim kepada patung. Sejarah cuma mencatat derita panjang eksploitasi sepanjang hayat majikan terhadap buruh. Lantas bagaimana penyelesaiannya? Jalan terbaik adalah memandang buruh sebagai asset paling bernilai dalam perusahaan, baik sebagai asset tangible (input terhadap hasil produksi) maupun sebagai asset intangible (citra perusahaan, keberlangsungan perusahaan). Berikan proteksi masa depan kepada buruh sekarang. Bisa dalam bentuk kepemilikan saham perusahaan sebagai insentif produktivitas mereka di masa krisis dengan pembagian keuntungan yang diambil di masa datang.

Bisa juga dengan terus menerus memberikan ‘kenyamanan’ kepada buruh dalam berorganisasi dan melakukan tawar menawar secara kolektif terha-dap perusahaan tanpa ada represi. Kenyamanan politis ini tentu bisa dibarengi dengan usaha-usaha so-sial dari pihak manajemen perusahaan untuk melakukan pemberdayaan di tingkat keluarga buruh, misalnya dengan memberikan dana sosial bergulir bagi keluarga buruh. Tentunya alternatif ini berjalan dengan asumsi terbukanya pihak manajemen terhadap kondisi perusahaan dan berjalannya komunikasi antara buruh dan majikan.

Karena untuk keluar dari krisis ekonomi jika melihat dari pengalaman negara lain cuma dapat dilewati dengan selamat dengan cara kerjasama di antara majikan dan buruh demi kepentingan masa depan. Dan sudah saatnya pengusaha mengalah untuk solusi menang-menang, bukan mencari masalah baru seperti mendefaultkan (membekukan) perusahaan dan melakukan capital flight (pelarian modal) ke luar negeri. Percayalah, biaya sosialnya akan teramat mahal bagi kehidupan bersama dan kemanusiaan.[]

Wednesday, January 03, 2007

Pengantar Edisi III

Published on tebar Edisi III Tahun I Oktober 2003

Salam Solidaritas,

Kawan-kawan anggota SP Kahutindo PT RPI adalah audiens (pende-ngar, pembaca) utama bulletin dua bulanan intern SP Kahutindo PT RPI tebar. Untuk itu, muatan dan opini-opini yang dibangun di dalamnya sedapat mungkin ditujukan untuk kepentingan audiens tanpa maksud di-embel-embeli dengan provokasi, hanya untuk penyadaran dan membuka cakrawala berpikir semata.

Menjelang akhir tahun 2003 ini banyak persoalan bermunculan dan menuntut perhatian lebih untuk disikapi dan minimal diusahakan penyelesaian dengan cara-cara yang elegan (jujur). Setelah dua kali penerbitan bulletin ini, redaksi banyak juga menerima keluhan-keluh-an dari kawan-kawan mengenai situasi di pabrik kita, terutama yang berkaitan dengan masalah pelayanan publik (kantin).

Dalam waktu dekat kita sudah akan memasuki bulan puasa. Artinya, kita harus mempersiapkan energi untuk masalah THR/TBL. Kemudian ma-salah penilaian dan pengupahan 2004 sudah pula menunggu. Semua tentu memerlukan perhatian, curahan tenaga, pikiran, dan waktu.

Segala silang sengketa maupun carut marut yang dialami kawan-kawan insya Allah akan kami perhatikan dan usahakan dengan segala daya upaya yang kita miliki meskipun tidak cukup hanya dalam waktu sekejapan mata. Kebenaran dan keadilan bagaimanapun musti diper-juangkan hingga akhirnya nanti akan nampak jua mana yang benar dan mana yang tidak.

Menghadapi masa-masa penilaian, kita harus lebih waspada dan hati-hati dalam bertindak. Jangan sampai satu kesalahan kecil meng-hapuskan semua record dan hasil kerja keras yang kita bina selama satu tahun ini mengingat sistem penilaian yang terkadang emosional bergantung kepada kondisi emosi orang yang menilai kita.
Redaksi masih terus menunggu saran, curhat, maupun sumbangan ar-tikel dari kawan-kawan untuk kemajuan dan pembelajaran bagi kita semua.

Selamat membaca dan berpikir cerdas.

HAK ATAS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA WANITA

Published on tebar Edisi II Tahun I Agustus 2003


Bab III
Kesempatan dan perlakuan yang sama

Pasal 5
Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.
Penjelasan :
Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan termasuk perlakuan yang sama terhadap para penyandang cacat.

Pasal 6
Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.
Penjelasan :
Pengusaha harus memberikan hak dan kewajiban pekerja/buruh tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, warna kulit dan aliran politik.


BAB X
Paragraf 3
Perempuan

Pasal 76

Ayat 1.

Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.

Ayat 2.

Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00

Ayat 3.
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja /buruh perempuan antara pu-kul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib :
a.Memberikan makanan dan minum-an bergizi; dan
b.Menjaga kesusilaan dan keamanan selama ditempat kerja.

Ayat 4.

Pengusaha wajib menyediakan angkut-an antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pu-lang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00.
Ayat 5.
Ketentuan sebagaimana dimaksud da-lam ayat (3) dan ayat (4) diatur de-ngan Keputusan menteri.

Penjelasan :
Ayat 1. Yang bertanggung jawab atas pelanggar-an ayat ini adalah pengusaha apabila pekerja/buruh perempuan yang dimak-sud dalam ayat ini dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 maka yang bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut adalah pengusaha.
Ayat 2. s. d. ayat 5. Cukup jelas.

Pasal 81

Ayat 1.
Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan mem-beritahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.

Ayat 2.
Pelaksanaan ketentuan sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Penjelasan
Pasal 81. Cukup jelas.

(Diambil dari UU No. 13 Th. 2003 tentang Ketena-gakerjaan)

KEJUTAN SANG DINAR

jiPublished on tebar Edisi II Tahun I Agustus 2003


Oleh : M. Anis Matta, Lc.


Harta, ternyata, punya cara kerja tersendiri dalam jiwa manusia. Karakternya sebagai salah satu dari trilogi godaan dunia memiliki kekuatan pengaruh yang tidak dapat diremehkan.

Dari instingnya, manusia membawa dorongan untuk memiliki. Jika insting itu menguat, maka ia akan berkembang menjadi keserakahan. Dan keserakahan menuntut sejenis proteksi terhadap semua harta yang telah diperoleh; maka lahirlah kebakhilan.

Hanya spirit kezuhudan yang dapat menyeimbangkan dorongan memiliki dalam jiwa kita. Jika kecenderungan zuhud itu menguat, maka ia akan berkembang menjadi kemurahan hati. Dan kemurahan hati pasti akan keluar mencari salurannya; maka lahirlah kedermawanan.

Zuhud adalah perasaan tidak butuh kepada ‘dunia’ justru ketika dunia itu ada dalam genggaman tangannya. Secara naluriah, kecenderungan manusia kepada dunia spiritual akan menguat setelah ia relatif terpuaskan dalam kehidupan materi. Maka seorang pahlawan yang lahir dari keluarga kaya lebih mudah menjadi zuhud, ketimbang seorang pahlawan yang lahir dari keluarga miskin. Sebaliknya, seorang pahlawan dari keluarga miskin lebih mudah bersabar, ketimbang seorang pahlawan yang lahir dari keluarga kaya. Tentu saja selalu ada pengecualian.

Masalah biasanya muncul jika seseorang menjadi kaya justru di tengah perjalanan kepahlawanannya; menjadi orang kaya baru. Secara normal ia membutuhkan pemuasan materi. Tapi disitu juga tersimpan godaan; tekanan kemiskinan dalam perjuangan yang panjang seringkali melahirkan semangat ‘balas dendam’ yang dahsyat. Dunia kini hadir di pelupuk mata dengan sisinya yang indah, penuh kenyamanan dan serba mudah.

Tidak semua pahlawan kuat menghadapi godaan itu. Bukan hanya karena harta mungkin saja mengubah seseorang menjadi serakah dan bakhil serta mudah berkonflik, tapi karena kemudahan dan kenyamanan dapat melahirkan kemalasan dan melumpuhkan semangat bekerja, berkarya, dan berjuang. Itu juga sebabnya Umar bin Khattab tidak memberikan jabatan-jabatan publik kepada para pembesar sahabat, dan tidak mengijinkan mereka keluar dari Madinah, bahkan termasuk untuk misi jihad. “Jauh lebih baik bagimu untuk tidak melihat dunia, dan sebaliknya dunia tidak melihatmu,” kata Umar untuk membenarkan tindakannya.

Membangun ‘adab jiwa’ yang luhur ketika seorang pahlawan merangkak menjadi kaya, adalah pelajaran maha penting yang diwariskan oleh para pahlawan terdahulu. Suatu saat ketika Abdurrahman bin Auf sedang berbuka puasa, beliau mengatakan:

Mus’ab telah syahid dan ia lebih baik dariku, padahal kain kafannya tidak cukup untuk menutupi seluruh tubuhnya. Jika kepalanya ditutup, maka kakinya terlihat. Jika kakinya ditutup, maka kepalanya terlihat. Hamzah telah syahid dan ia lebih baik dariku, padahal tidak ada kain kafan yang ditemukan untuknya kecuali burdah-nya. Lalu dunia pun dibuka lebar untuk kami. Dan aku khawatir yang terjadi hanyalah bahwa kebaikan-kebaikan kami telah sengaja dibalas labih dulu, hingga tak ada lagi yang akan kita peroleh di akhirat.”

Diambil dari rubrik "Serial Kepahlawanan ke-62"

Majalah Tarbawi Edisi 61 th. 4/Rabi’ul Tsani 1424 H /12 Juni 2003