Tuesday, May 02, 2006

MANAJEMEN SESS...DORR!!

Published on tebar Edisi II Tahun I Agustus 2003
Oleh : Soedjatmiko Himawan
Dalam dunia bisnis yang bersifat kapitalistik dewasa ini ada pemahaman : Mencari keuntungan sebesar-besarnya untuk akumulasi modal. Hal ini sah-sah saja mengingat dengan terkumpulnya modal, akan mudah untuk memiliki akses kepada kekuasaan sebagai pengambil keputusan (decision maker) yang akan memberikan keuntungan berupa kemudahan-kemudahan yang dapat dinikmati baik secara individual, kelompok, golongan, bahkan bisa juga sebuah negara di antara negara-negara lain di dunia.

Menyikapi situasi tersebut, para pemimpin dan pemikir bangsa Indonesia telah membuat banyak solusi dan kebijakan yang diharapkan mampu membendung gelombang kapitalisasi di segala bidang. Namun agaknya pada tataran pelaksanaan, pemerintah cenderung bersikap lebih akomodatif terhadap pihak pemodal dengan program industrialisasi yang kapitalistis di berbagai sektor, seperti : pertanian, perkebunan, kehutanan, manufaktur, otomotif, elektronika, dan lain-lain yang tentunya akan habis-habisan mengundang investor masuk ke Indonesia, dan di sisi lain, mengabaikan kepentingan rakyat dan bahkan menjadikan upah buruh murah sebagai komoditas utama dalam investasi.

Dalam meghadapi desakan buruh pun pemerintah lalai akan tugasnya mengemban amanat penderitaan rakyat dalam meningkatkan kesejahteraan dan mengentaskan mereka dari kubang lumpur kemiskinan, dan malah asyik berkongsi dengan pengusaha. Adalah doktrin hubungan industrialis pancasila (HIP) yang sebenarnya dimaksudkan untuk mengkompromikan kepentingan pemodal dengan kepentingan pekerjanya sehingga akan terciptalah sinergi dalam mencapai kemakmuran bersama ternyata selalu dijadikan alat propaganda dengan didukung organisasi serikat pekerja hasil penunggalan pemerintah, SPSI. Tentu saja kita semua mafhum bahwa di seantero belahan negara kita tercinta ini, banyak kenyataan di mana ada benturan-benturan kepentingan antara pemodal dengan pekerjanya, maka merekalah (pengusaha) yang akan memenangkan pertandingan. Tidak pernah ada yang namanya kompromi. Yang ada hanyalah kita dikalahkan dan dimiskinkan secara struktural.
***
Dalam kurun waktu beberapa tahun berdirinya PT RPI, kita melihat dinamika perubahan dan tukar ganti program maupun kebijakan-kebijakan yang terkadang sulit untuk diikuti dan dibaca ke mana arahnya. Ada beberapa hal signifikan yang menurut pengamatan saya perlu dicermati dan dikaji kelebihan dan kekurangannya dari su-dut pandang kita, antara lain :
  • Program pelatihan keahlian/skill (atau apapun namanya);
  • Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3);
  • Program 5S;
  • Program pembentukan divisi pengon-trol (production control);
  • Program standarisasi ISO 9002;Dan lain-lain.

Bagi sebagian karyawan RPI, terutama yang berhubungan dan berinteraksi langsung, hal-hal tersebut di atas sangat menggembirakan karena dianggap bisa menjadikan terciptanya profesionalisme, efisiensi, dan efektivitas, serta rasa aman dalam bekerja. Siapa, sih, orangnya yang tidak suka kerja dengan lingkungan yang bersih dan tertata rapih? Siapa sih orangnya yang tidak suka bila setiap hendak memulai pekerjaan selalu disapa dan diingatkan oleh suara perempuan bak buluh perindu nan lembut dan merdu untuk berhati-hati?

Manajemen sehat pada akhirnya menyentuh kualitas kerja dan kesejahteraan karyawan. Benarkah demikian ?

Pertanyaan ini agaknya menggelitik. Pada kenyataanya penerapan manajemen tersebut tidak adil. Perusahaan melaksanakan kebijaksanaan itu hanya untuk menekan kedisiplinan dan kepatuhan karyawan terhadap perusahaan. Begitu menyentuh masalah kesejahteraan, perusahaan tampak setengah hati, ini bisa diprediksi dari kebijaksanaan yang di ambil, antara lain :

  1. Ketika target hasil produksi terlampaui, pihak manajemen perusahaan dengan berbagai dalih memberikan insentif (yang seharusnya diberikan dan sebagiannya adalah menjadi hak karyawan) secara tidak transparan dan mengesankan bahwa bonus yang diberikan adalah merupakan tanda kemurahhatian perusahaan. Bahkan lebih parah lagi, bisa kita lihat setiap kali perusahaan memberikan sesuatu diluar normatif selalu diikuti tuntutan konsesi berupa kedisiplinan yang tidak masuk akal dan tanpa menghiraukan rasa keadilan;
  2. Masalah rekruitmen karyawan pocokan dan kontrakan yang semrawut dan semau gue; karyawan yang mempunyai masa kerja yang lebih dari kesepakatan kerja bersama statusnya tidak jelas. Akibatnya karyawan tersebut terintimidasi secara mental karena tidak mempunyai masa depan bekerja di PT RPI;
  3. Kekosongan jabatan Staff dan anggota pada divisi produksi berbulan-bulan tidak diisi, padahal di dalam KKB disebutkan adanya promosi bagi karyawan yang ada di bawah jabatan kosong tersebut;
  4. Jargon-jargon K3 yang terlalu bombastis disertai berbagai macam lomba slogan tidak sesuai dengan kondisi lapangan. Banyak sekali kasus kecil pengingkaran terhadap komitmen dan kewajiban penyediaan perlengkapan K3 dan memberikan rasa aman dalam bekerja, yang pelaksanaannya jauh dari memadai. Kalaupun toh ada satu dua kasus besar yang penanganannya benar-benar bagus, itu hanyalah permukaan yang dilakukan guna memenuhi sarat nihil kecelakaan kerja dan nihil kebakaran. Bagai mana dengan alat K3 bulanan (masker & kaus tangan) yang jumlahnya cenderung di bawah kebutuhan? Bagaimana dengan proses pp alat K3 yang sering dipersulit dengan berbagai pertanyaan konyol dan penuh curiga? Bagai mana dengan nasib operator glue, emulsi, petugas laborat, dan ipal yang setiap hari musti bersentuhan dan menghirup pekatnya zat-zat kimia berbahaya?
  5. Jenjang jabatan tiap divisi yang berbeda-beda.

Kesemua hal tersebut di atas adalah gambaran situasi di pabrik kita yang sudah semestinya menjadi perhatian dan disikapi oleh para pengambil keputusan di PT RPI secara adil dan bijaksana, bukan malah ditutup-tutupi dan dibiarkan menjadi bara dalam sekam yang sewaktu-waktu bisa berkobar (bukankah bara sekecil apapun musti dicegah keberadaannya?). Janganlah dengan mengatasnamakan efisiensi dan efektivitas, lantas kepentingan karyawan (yang diakui ataupun tidak merupakan aset peru-sahaan) akan adanya rasa aman dalam bekerja, peningkatan kesejahteraan, dan kepastian akan masa depan keluarganya diabaikan begitu saja. Yang akan terjadi adalah pemiskinan dan pembodohan secara struktural.

Itu pasti! Bayangkan saja jika tidak adanya kepastian akan masa depan ini terus dibiarkan berlarut-larut. Bagi karyawan lajang hal ini tidak begitu menjadi masalah. Namun bagi karyawan dengan keluarga yang anak-anaknya sudah mencapai usia sekolah, maka duit yang selama ini hanya cukup untuk kebutuhan hidup primer(?) harus pula dibagi untuk anggaran baru, yaitu pendidikan yang sebenarnya adalah juga kebutuhan primer. Dan kembali mereka harus kembali melakukan hobi gali-tutup lubang sambil mengencangkan ikat pinggang yang sudah begitu ketat mengikat. Belum lagi jika salah satu anggota keluarga sakit dan harus menjalani rawat inap.

Di sisi lain, karyawan pun harus sadar dan ikhlas bahwa bekerja sungguh-sungguh merupakan kewajiban dalam hidup. Artinya: disiplin, tanggung jawab, tertib, hati-hati, cermat, jujur, dapat dipercaya adalah modal yang harus menyatu dengan nafas semangat sehari-hari.

Kebijakan manajemen, apapun bentuknya, hendaknya selalu dilandaskan atas asas moral (ketuhanan) karena di titik inilah semua dipertanggungjawabkan, dan niat baik untuk kemajuan bersama. Jika tidak memperhatikan keseimbangan dalam mengambil skala prioritas, jangan harap apapun program yang dicanangkan berjalan baik, malah sebaliknya akan timbul saling curiga antara pihak yang dipercaya menjadi pengelola manajemen dengan karyawannya. Dengan partisipasi karyawan rendah, program tidak akan mencapai sa-saran. Akhirnya dalam istilah saya, mana-jemen yang selama ini dikembangkan di RPI adalah manajemen SESS DORR!!! Menggebu-gebu dan penuh gebyar pada awalnya. Namun sesudah itu hilang ditelan waktu karena perencanaan yang kurang matang.

Ada satu hal mendasar dan sederhana dilupakan oleh para pengambil kebijakan di RPI, yaitu hukum aksi-reaksi yang akan memunculkan feedback yang sama bobotnya dengan arah yang berlawanan dalam setiap kebijakan yang diambil. Apabila represi yang diberikan, maka perlawananlah yang akan dituai. Dan jika jaminan kesejahteraan yang diberikan, maka produktivitas yang akan dijadikan alat pembayaran oleh karyawan. Marilah mulai saat ini kita saling introspeksi diri kita masing-masing. Tidak ada yang sempurna pada manusia. Berikan yang terbaik yang kita miliki. Bertindak atas dasar nurani dan iman, hal yang saat ini sudah dilupakan. Sehingga dengan de-mikian akan tercipta suasana kondusif dan nyaman di lingkungan pabrik kita ini.

FENOMENA JILBAB DARI MASA KE MASA

Published on tebar Edisi II Tahun I Agustus 2003
Jilbab; pakaian penutup kepala perempuan jenis ini di Indonesia semula lebih umum dikenal dengan kerudung, tetapi pada permulaan tahun 1980-an lebih populer dengan jilbab. Jilbab berasal dari akar kata jalaba, berarti menghimpun dan membawa. Jilbab pada masa Nabi Muhammad SAW ialah pakaian luar yang menutupi segenap anggota badan dari kepala hingga kaki pe-rempuan dewasa.

Jilbab dalam arti penutup kepala hanya dikenal di Indonesia. Di beberapa negara Islam, pakaian sejenis jilbab dikenal dengan beberapa istilah, seperti chador di Iran, pardeh di India dan Pakistan, milayat di Libya, abaya di Irak, charshaf di Turki, hijab di beberapa negara Arab-Afrika seperti di Mesir, Sudan, dan Yaman. Hijab Hanya saja pergeseran makna hijab dari semula berarti tabir, berubah makna menjadi pakaian penutup aurat perempuan semenjak abad ke-4 H.

Jenis pakaian perempuan pada masa Nabi sebagaimana dapat ditelusuri di dalam syair-syair Jahiliyah, antara lain burqu', kain transparan atau perhiasan perak yang menutupi bagian muka kecuali dua bola mata; niqab, kain halus yang menutupi bagian hidung dan mulut; miqna'ah, kerudung mini yang menutupi kepala; qina', kerudung lebih lebar; litsam atau nishaf, kerudung lebih panjang atau selendang; khimar, istilah generik untuk semua pakaian penutup kepala dan leher; jilbab, pakaian luar seperti dijelaskan di atas.

Latar belakang jilbab
Jilbab merupakan fenomena simbolik sarat makna. Jika yang dimaksud jilbab penutup kepala (veil) perempuan, maka jilbab sudah menjadi wacana dalam Code Bilalama (3.000 SM), kemudian berlanjut di dalam Code Hammurabi (2.000 SM) dan Code Asyiria (1.500 SM). Ketentuan penggunaan jilbab sudah dikenal di beberapa kota tua seperti Mesopotamia, Babilonia, dan Asyiria. Perempuan terhormat harus menggunakan jilbab di ruang publik. Sebaliknya, budak perempuan dan prostitusi tidak boleh menggunakan. Perkembangan selanjutnya jilbab menjadi simbol kelas menengah atas masyarakat kawasan itu. Ketika terjadi perang antara Romawi-Byzantium dan Persia, rute perdagangan antarpulau mengalami perubahan untuk menghindari akibat buruk wilayah peperangan. Kota di beberapa pesisir Jazirah Arab tiba-tiba menjadi penting sebagai wilayah transit perdagangan. Wilayah ini juga menjadi alternatif pengungsian dari daerah yang bertikai. Globalisasi peradaban secara besar-besaran terjadi pada masa ini. Kultur Hellenisme-Byzantium dan Mesopotamia-Sasania ikut menyentuh wilayah Arab yang tadinya merupakan geokultural tersendiri. Menurut De Vaux dalam Sure le Voile des Femmes dans l'Orient Ancient, tradisi jilbab (veil) dan pemisahan perempuan (seclution of women) bukan tradisi orisinal bangsa Arab, bahkan bukan juga tradisi Talmud dan Bibel. Tokoh-tokoh penting di dalam Bibel, seperti Rebekah yang mengenakan jilbab berasal dari etnis Mesopotamia di mana jilbab merupakan pakaian adat di sana.

Jilbab yang semula tradisi Mesopotamia-Persia dan pemisahan laki-laki dan perempuan merupakan tradisi Hellinistik-Byzantium, menyebar menembus batas geokultural, tidak terkecuali bagian utara dan timur Jazirah Arab seperti Damaskus dan Baghdad yang pernah menjadi ibu kota politik Islam zaman Dinasti Mu'awiyah dan Abbasiah.

Pelembagaan jilbab dan pemisahan perempuan mengkristal ketika dunia Islam bersentuhan dengan peradaban Hellenisme dan Persia di kedua kota penting tersebut. Pada periode ini, jilbab yang tadinya merupakan pakaian pilihan (occasional costume) mendapatkan kepastian hukum (institu-tionalized), pakaian wajib bagi perempuan Islam. Kedua kota tersebut juga punya andil besar dalam kodifikasi kitab-kitab standard seperti hadis, tafsir, fikih, tarekh, termasuk pembakuan standar penulisan dan bacaan (qira'at) Al Quran.

Wacana jilbab dalam Islam

Ada dua istilah populer digunakan Al Qur’an untuk penutup kepala yaitu khumur dan jalabib, keduanya dalam bentuk jamak dan bersifat generik. Kata khumur (QS. al-Nur:31) bentuk jamak dari khimar dan kata jalabib (QS. al-Ahdzab:59) bentuk jamak kata jilbab.

Al Quran dan hadis tidak pernah secara khusus menyinggung bentuk pakaian penutup muka. Bahkan, dalam hadis, muka dengan tegas masuk dalam pengecualian dan dalam suasana ihram tidak boleh ditutupi. Lagi pula, ayat-ayat yang berbicara tentang penutup kepala tidak ada satu pun disangkutpautkan dengan unsur mitologi dan strata sosial.

Dua ayat di atas turun dalam konteks keamanan dan kenyamanan perempuan. Sementara dalam tradisi Yunani, jilbab dianggap fenomena kelas masyarakat tertentu.

Ayat khimar turun untuk menanggapi model pakaian perempuan yang ketika itu menggunakan penutup kepala (muqani'), tetapi tidak menjangkau bagian dada, sehingga bagian dada dan leher tetap kelihatan.

Ayat jilbab juga turun berkenaan seorang perempuan terhormat yang bermaksud membuang hajat di belakang rumah di malam hari tanpa menggunakan jilbab, maka datanglah laki-laki iseng mengganggu karena dikira budak. Peristiwa ini menjadi sebab turunnya QS al-Ahdzab:33,”Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah dahulu.” Satu hal, perlu dicatat bahwa seruan mengenakan jilbab, sebagaimana disebutkan dalam ayat diatas, dimaksudkan sebagai cara untuk meperlihatkan identitas perempuan-perempuan merdeka dari perempuan-perempuan budak. Soalnya, dalam tradisi Arab ketika itu, perempuan-perempuan budak dinilai tidak berharga. Mereka mudah menjadi sasaran pelecehan kaum laki-laki. Status sosial mereka juga direndahkan dan dihinakan. Berbeda dari kaum perempuan merdeka. Dengan begitu, identifikasi perempuan merdeka perlu dibuat agar tidak terjadi perlakuan yang sama dengan budak. Istilah merdeka dimaksudkan agar mereka tidak menjadi sasaran pelecehan seksual laki-laki.
Sampai di sini, pertanyaan penting agaknya perlu dikemukakan. Kalau jilbab digunakan sebagai pencirian perempuan merdeka, bagai mana pakaian yang biasa dikenakan perempuan budak? Abdul Halim Abu Syuqqah menginformasikan bahwa kaum perempuan Arab pra Islam sebenarnya biasa mengenakan pakaian dengan berbagai bentuk atau mode. Ada yang memakai cadar dan sebagainya. Beberapa bentuk dan mode pakaian yang dikenakan kaum perempuan Arab saat itu, berlaku bagi perempuan merdeka dan perempuan budak. Ketika Islam datang, mode dan bentuk pakaian yang menjadi tradisi masyarakat Arab jahiliyah masih diakui. Tetapi, ada dugaan kuat, seruan pemakaian jilbab terhadap perempuan-perempuan mukmin yang merdeka, mengindikasikan perempuan budak tidaklah mengenakan jilbab. Atau mereka mengenakannya, tetapi tidak mengulurkannya sampai menutup wajahnya. Tidak berjilbabnya perempuan budak masuk akal, karena tugas-tugas berat mereka untuk melayani majikannya.

Atas dasar itu, surat al-Ahzab 59, tampaknya hanya membicarakan ciri khusus pakaian perempuan merdeka, yang membedakannya dari pakaian perempuan budak. Ciri itu adalah jilbab. Jadi, ayat ini secara lahiriah, serta didukung latar belakang turunnya, hanya membicarakan jilbab sebagai ciri perempuan merdeka, untuk membedakannya dengan perempuan budak. Ayat ini tidak membicarakan aurat perempuan.

Pembicaraan mengenai batas-batas au-rat perempuan dikemukakan dalam ayat lain, misalnya surah al-Nur ayat 31. Para ahli tafsir, ketika mengartikan jilbab, menghubungkan surat al-Ahzab dengan surat an-Nur tadi. Dengan demikian, jilbab adalah pakaian tambahan, pelengkap atau aksesoris yang dirangkap pada pakaian lain yang untuk menutup tubuh perempuan merdeka.

Wahbah mengatakan, jilbab merupakan pelengkap kewajiban menutup aurat. Ini adalah tradisi yang baik, untuk melindungi pe-rempuan dari sasaran pelecehan laki-laki.

Ayat hijab, sangat terkait dengan keterbatasan tempat tinggal Nabi bersama beberapa istrinya dan semakin besarnya jumlah sahabat yang berkepentingan dengannya. Untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan (perlu diingat, ayat hijab ini turun setelah kejadian tuduhan palsu/hadis al-ifk terhadap 'Aisyah), Umar mengusulkan agar dibuat sekat (Arab: hijab) antara ruang tamu dan ruang privat Nabi. Tetapi, tidak lama kemudian turunlah ayat hijab yang berbunyi, ”Jika kamu meminta sesuatu kepada mereka (para istri Nabi SAW), maka mintalah dari balik hijab. Cara ini lebih mensucikan hatimu dan hati mereka.”(Al-Ahzab:53)Muhammad Syahrur dalam bukunya Al-Kitab wa al-Qur'an juga pernah menyatakan hijab hanya termasuk dalam urusan harga diri, bukan urusan halal atau haram. Pada awal abad ke-19 Qasim Amin dalam Tahrir al-Mar'ah sudah mempersoalkan hal ini. Namun perlu ditegaskan, meskipun pemikir itu berpandangan kritis terhadap jilbab, tetapi mereka tetap mengidealkan penggunaan jilbab bagi perempuan. Inti wacana mereka adalah bagaimana jilbab tidak membungkus kreativitas dan produktivitas perempuan, bukannya melarang atau menganjurkan pembukaan jilbab.
Jilbab sebagai fenomena resistensi

Ketika gerakan para mullah mulai marak di Iran pada tahun 1970-an dan mencapai puncaknya ketika Imam Khomeini berhasil menggusur Reza Pahlevi yang dipopulerkan sebagai antek dunia Barat di Timur Tengah, maka Khomeini menjadi lambang kemenangan Islam terhadap boneka Barat. Simbol-simbol kekuatan Khomeini, seperti foto Imam Khomeini dan komunitas Black Veil menjadi tren di kalangan generasi muda Islam seluruh dunia. Semenjak itu jilbab mulai menghiasi kampus dunia Islam, tidak terkecuali Indonesia. Identitas jilbab seolah sebagai lambang kemenangan.

Perkembangan berikutnya, ketika perang dingin blok Timur dan blok Barat usai berbarengan dengan semakin pesatnya kekuatan pengaruh globalisasi, maka timbul kecemasan lebih kompleks dari kalangan umat Islam. Islam dan berbagai pranatanya berhadap-hadapan langsung dengan dunia Barat. Apa yang dilukiskan Huntington sebagai benturan Barat-Islam akan terjadi pada pasca benturan Timur-Barat, menunjukkan adanya tanda kebenaran, terutama setelah peristiwa 11 September 2001.

Sebagian umat Islam percaya bahwa untuk mengembalikan kekuatan Islam seperti zaman kejayaan dulu, umat Islam harus kembali kepada formalisme keagamaan dan sejarah masa lampaunya. Semangat mengembalikan simbol dan identitas Islam masa lalu terus dipompakan, termasuk di antaranya penggunaan jilbab bagi kaum perempuan dan pemeliharaan kumis dan jenggot bagi laki-laki.

Kadar proteksi dan ideologi di balik fenomena jilbab di Indonesia tidak terlalu menonjol. Fenomena yang lebih menonjol ialah jilbab sebagai tren, mode, dan privacy sebagai akumulasi pembengkakan kualitas pendidikan agama dan dakwah di dalam masyarakat. Lagi pula, bukankah salah satu ciri budaya bangsa dalam potret perempuan masa lalu adalah kerudung?

Tidak perlu over estimate atau fobia bahwa fenomena jilbab merupakan bagian dari jaringan ideologi tertentu yang menakutkan. Jilbab tidak perlu dikesankan seperti "imigran gelap" yang selalu dimata-matai, seperti yang pernah terjadi pada masa lalu yaitu fenomena jilbab dicurigai sebagai bagian dari ekspor Revolusi Iran. Sepanjang fenomena jilbab tumbuh di atas kesadaran sebagai sebuah pilihan dan sebagai ekspresi pencarian jati diri seorang perem-puan muslimah, tidak ada unsur paksaan dan tekanan, itu sah-sah saja. Tidakkah manusiawi jika seseorang menentukan pilihan-nya secara sadar?

(disunting dari artikel :”FENOMENOLOGI JILBAB”; oleh Nasaruddin Umar, Guru Besar Ilmu Tafsir Universitas Islam Negeri Jakarta, dimuat di KOMPAS Senin, 25 November 2002 )

Monday, May 01, 2006

JILBAB DAN PEREMPUAN RPI

1st published on tebar Edisi II Tahun I Agustus 2003
Wacana jilbab di RPI akhir-akhir ini, meskipun tidak sempat tersebar luas di kalangan karyawan, terus berkembang dan tetap menjadi perdebatan yang belum dapat disepakati jalan keluarnya oleh masing-masing pihak berkepentingan. Dari situasi tersebut kemudian timbul satu pertanyaan sederhana dikaitkan dengan aturan perusahaan mengenai pakaian kerja : masih relevankah pelarangan pemakaian jilbab sebagai kelengkapan pakaian kerja?
Menanggapi desakan tuntutan tersebut, sikap perusahaan cukup keras pada awalnya. Artinya, pihak perunding perusahaan mengatakan sama sekali tidak ada ijin untuk menyertakan jilbab pada pakaian seragam kerja perempuan. Kemudian pada tahap perundingan berikutnya perusahaan mulai bersikap sedikit lebih lunak dengan mengatakan bahwa meskipun perusahaan tidak melarang, tidak ada aturan yang memperbolehkan pemakaian jilbab di RPI. Dalam perkembangan terakhir perusahaan memilih untuk memberikan kelonggaran dengan memperbolehkan karyawan perempuan mengenakan jilbab hanya pada waktu berangkat kerja dan pulang kerja. Jadi, pada jam kerja mereka tetap saja tidak bisa mengenakan jilbab. Agak absurd memang, namun itulah kenyataannya. Ada semacam ambivalensi (kemenduaan) dalam pengambilan sikap tersebut. Bagi karyawan yang mengenakan jilbab sebagai keyakinan keagamaan mereka, hal ini tentulah sangat mengganggu keleluasaan dalam menjalankan keyakinan agamanya tersebut. Toh, itu bukan harga mati, tentu masih ada harapan perubahan sikap perusahaan tersebut pada perundingan berikutnya.

Masih relevankah pembatasan pemakaian jilbab di RPI? Marilah kita kaji bersama secara kritis.
Ada hal mendasar dalam diri setiap manusia, yaitu akidah, yang merupakan inner-man dan suara hati yang kalau kita mau jujur mengakuinya, ada terkandung kebenaran yang hakiki di dalamnya. Di bawah akidah ada yang dinamakan ideologi, merupakan refleksi dari olah pikir manusia yang kebenarannya masih relatif serta memungkinkan untuk diperdebatkan sesuai dengan ruang atau waktu serta latar belakang sosial, budaya, tingkat pemahaman dan kepentingan masing-masing personal. Pada tataran pembuatan sebuah kebijakan/policy, sudah seharusnya bisa dipisahkan manakah yang menyangkut akidah atau ideologi. Secara geografis, kultur, sosial, budaya setempat, ada semacam hukum/kesepakatan yang tidak tertulis tetapi diyakini mempunyai kekuatan hukum dan tetap dijaga dan dipatuhi.

Tidak ada larangan sedikitpun di tingkat negara untuk menggunakan jilbab karena Indonesia tunduk pada instrumen hak asasi nasional maupun internasional yang menjamin penggunaan jilab sebagai hak rakyat untuk mengekspresikan keyakinan agamanya. Kalaupun masih ada larangan untuk menggunakan jilbab, itu cenderung larangan yang sifatnya lokal yang hanya berlaku di lingkungan suatu instansi.

Apakah larangan tersebut sifatnya legal? Tidak, larangan tersebut adalah bertentangan dengan UUD ’45, UU HAM No. 39 Th. 1999, dan pelbagai macam instrumen HAM internasional yang telah diratifikasi Indonesia. Karena bertentangan dengan hukum, maka peraturan lokal tersebut otomatis bersifat melawan hukum dan dapat digugat secara hukum. Di tanah air, jilbab tidak hanya dipakai orang tua, tapi juga para remaja, pekerja di kantor, instansi maupun pemerintahan, bahkan para artis sekalipun. Tentu, ia pun sarat makna. Di satu sisi, jilbab menjadi simbol pakaian muslimah santri, terutama yang berasal dari pesantren. Di sisi lain, ia dijadikan busana yang lazim dikenakan hanya pada momen-momen kerohanian —salat, pengajian, berkabung, bahkan saat menghadiri pesta pernikahan; sebaliknya tak dipakai pada berbagai aktivitas kesehariannya.

Pada akhir 1980-an, ribuan mahasiswi dan pelajar berjilbab membanjiri jalanan di berbagai kota besar. Mereka memprotes kebijakan Mendikbud yang melarang jilbab di sekolah-sekolah umum. Mereka ingin mengukuhkan identitas kemuslimahannya dengan mentradisikan berjilbab. Jilbab lebih dari sekadar kewajiban, tapi simbol kultural yang membedakan komunitas mereka (santri) dengan komunitas lainnya (abangan dan non-muslim).

Kalangan selebritis sibuk menutupi kepalanya yang biasa terbuka itu dengan jilbab di bulan Ramadhan. Jelas dalam hal ini pemakaian jilbab tak ada hubungan dengan kesalehan maupun ketaatan beragama. Sebab, begitu bulan suci itu usai, jilbabnya pun dilepas. Bagi mereka, berjilbab hanyalah tuntutan pasar; strategi untuk meraup keuntungan material dengan penampakan spiritual.

Apakah fenomena jilbab sebatas tren yang punya jangka waktu tertentu, atau lahir dari sebuah kesadaran kolektif keaga-maan? Murnikah hanya sebagai sebuah mo-de yang terselip unsur privacy di dalamnya, atau terselip unsur resistensi dan ideologi sebagai salah satu bentuk reaksi atau perlawanan terhadap kekuatan luar, seperti ke-cemasan dari dampak arus globalisasi, westernisasi, dan fenomena deislamisasi (penurunan nilai-nilai islam) lain?

Apakah fenomena jilbab punya andil di dalam maraknya aspirasi peraturan daerah (perda) syari'ah, ataukah sebaliknya, perda syari'ah menjadi faktor merebaknya fenomena jilbab? Atau semacam gayung bersambut, tren jilbab sebagai mode, privacy, dan resistensi, mendapatkan legitimasi struktural?

Jika jilbab tampil bukan hanya sebagai mode dan privacy, tetapi tampil sebagai su-atu kekuatan, pergerakan, pertahanan, dan proteksi, maka pada saat itu fenomena jilbab memiliki nuansa baru, bukan lagi hanya sebatas penutup aurat bagi perempuan tetapi memiliki kekuatan politik yang patut diperhitungkan.

Pendek kata, jilbab secara historis mempunyai banyak makna. Jilbab adalah sebuah fenomena majemuk, memiliki tingkat-tingkat makna dan beragam konteks. Persoalan jilbab tak lagi wajib-mubah, haram-halal, etis-tidak etis. Ia menyiratkan simbol sarat makna dan kepentingan, tergantung siapa pemakainya.

PT RPI yang berdomisili di Kab. Kendal ada baiknya memperhatikan budaya-budaya lokal yang masih begitu kental nuansa keislamannya, juga keputusan seseorang untuk memilih dalam berkeyakinan, dan kebijakan yang berlaku sehingga jati diri karyawan secara umum tidak tercerabut dari akarnya dan agar RPI menjadi lebih membumi di di kalangan masyarakat setempat. Di mana langit dijunjung di situ bumi di pijak. Terlepas apakah itu sebuah mode, trend atau yang lainnya, jilbab merupakan suatu atribut bagi si pemakai yang diharapkan dengan pemakaiannya itu merefleksikan isi hati dan pikiran yang tampak dalam perbuatan dan sikap. Kalau hal ini dipahami dengan benar niscaya akan ada nilai tambah dalam diri kaum perempuan pada waktu mereka bekerja. Saat bekerja bukan hanya mereka bertanggung jawab kepada pimpinannya secara langsung, tetapi ada suatu kesadaran bahwa mereka bertanggung jawab juga kepada Tuhan.

Kembali pada pertanyaan diatas, masih relevankah hal itu? Jawabannya ada dalam hati pembaca semua. (Chakiem, Subur)

Pengantar Edisi II : Jilbab dan Dilemma Perempuan RPI

Published on tebar Edisi II Tahun I Agustus 2003

Salam pembebasan,

Tebar edisi kedua akhirnya terbit meski jauh terlambat dari waktu tenggat yang telah dijadualkan semula, yaitu tiap akhir bulan. Pada edisi ini yang menjadi primadona adalah perempuan dengan pergulatan konflik yang sedang terjadi di pabrik kita tercinta ini.
Wacana dan ulasan yang kita kemukakan di sini mudah-mudahan bisa menguraikan benang kusut yang beberapa waktu belakangan Ini di pabrik kita muncul dan semakin menguat, yaitu tuntutan diberikannya kebebasan untuk mengenakan jilbab sebagai pelengkap pakaian seragam kerja dari elemen yang justru selama ini dipandang sebelah mata dan dianggap terlalu penurut oleh kawan-kawan, yaitu karyawan perempuan. Terlepas dari siapa berasal, tuntutan tersebut merupakan satu hal yang dapat dijadikan indikator perkembangan pola pikir anggota serikat pekerja kita.
Lagi-lagi kita mengingatkan kepada pembaca sekalian untuk tidak sungkan-sungkan menyumbangkan ide-ide cemerlang yang akan menambah besar dan majunya bulletin ini, baik itu berupa tulisan artikel, kolom opini, pertanyaan mengenai permasalahan keseharian menyangkut hubungan kerja, karikatur, lelucon (terutama tentang diri sendiri), tips, serta usulan tema kajian utama untuk edisi berikutnya.
Selamat membaca dan berpikir kreatif.
Wacana jilbab di RPI akhir-akhir ini, meskipun tidak sempat tersebar luas di kalangan karyawan, terus berkembang dan tetap menjadi perdebatan yang belum dapat disepakati jalan keluarnya oleh masing-masing pihak berkepentingan. Dari situasi tersebut kemudian timbul satu pertanyaan sederhana dikaitkan dengan aturan perusahaan mengenai pakaian kerja :masih relevankah pelarangan pemakaian jilbab sebagai kelengkapan pakaian kerja?