Wednesday, January 28, 2009

Serikat Buruh/Serikat Pekerja di Indonesia 1

SECARA legal, tonggak reformasi di arena politik perburuhan di Indonesia, dimulai dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Tenaga Kerja no. 5 tahun 1998, tentang pendaftaran serikat buruh. Ini sekaligus mengakhiri era serikat buruh tunggal yang dikuasai FSPSI (Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia).

Dirintis sejak pemerintahan B.J. Habibie yang singkat (1998—1999) melalui ratifikasi terhadap konvensi ILO no. 87 mengenai kebebasan berserikat, dua tahun kemudian, di bawah pemerintahan Abdurrahman Wahid (2000—2001), era serikat buruh tunggal yang dikontrol negara diakhiri pada tahun 2000 dengan diundangkannya kebebasan berserikat melalui Undang-undang Serikat Pekerja/Serikat Buruh no. 21 tahun 2000 pada tanggal 4 Agustus 2000. Undang-undang ini mengatur pembentukan, keanggotaan, pemberitahuan dan pendaftaran, hak dan kewajiban, keuangan dan kekayaan, pembubaran dan hal-hal lain yang menyangkut serikat buruh.

Sejak saat itu, diawali dengan pecahnya FSPSI menjadi FSPSI dan FSPSI Reformasi, mulai bermunculan serikat buruh/serikat pekerja (SB/SP) baru. Sejak tahun 2000, pertumbuhan SB/SP baru tersebut bagaikan jamur yang tumbuh di musim hujan. Ribuan serikat buruh di berbagai tingkat bermunculan dan mendaftarkan dirinya ke Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Data resmi terakhir menyebutkan, per Juni tahun 2007, tercatat ada 3 konfederasi (KSPSI/Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, KSBSI/Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia, KSPI/Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia), 86 federasi, dan belasan ribu SB/SP tingkat pabrik. Dari ketiga konfederasi tersebut, KSPSI merupakan konfederasi serikat terbesar yang menyatakan memiliki 16 federasi dan lebih dari empat juta orang anggota. Posisi kedua ditempati KSPI dengan 11 federasi dan anggota lebih dari dua juta orang, serta KSBSI dengan anggota mencapai hampir dua juta orang di posisi ketiga.

Sementara itu, data tahun 2002 yang dikeluarkan FES menunjukkan, jumlah populasi serikat buruh tersebut berada dalam situasi di mana jumlah anggota serikat mencapai lebih dari delapan juta orang dan tingkat unionisasi sebesar sembilan persen dari total angkatan kerja atau 25 persen dari total angkatan kerja di sektor formal. Data verifikasi terakhir yang dilakukan Depnakertrans untuk tahun 2006 menunjukkan, KSPSI tetap merupakan konfederasi terbesar dengan 16 federasi serikat pekerja, meskipun, seperti juga kedua konfederasi yang lain, mengalami penurunan jumlah anggota yang cukup signifikan dari tahun ke tahun.

Serikat pekerja/serikat buruh di Indonesia secara umum memiliki tiga ciri pokok. Ciri pertama, adalah pada sifatnya yang rentan terhadap perpecahan; kedua, adalah perbedaan orientasi serikat; dan ketiga, sifatnya yang eksklusif. Ciri-ciri tersebut dijelaskan lebih jauh di bawah ini.

Kategorisasi Serikat

Asal-muasal serikat menunjukkan kerentanan dan kurangnya keterampilan berorganisasi di kalangan serikat pekerja/serikat buruh, yang menyebabkan pecahnya serikat dan pemisahan diri sekelompok orang untuk membentuk organisasi serikat pekerja/serikat buruh baru. Munculnya serikat-serikat baru dengan nama yang sama dengan dibubuhi kata ‘reformasi’ atau ‘baru’ di belakangnya, antara lain membuktikan kerentanan tersebut.

Mengacu pada sejarah SB/SP masa Orde Baru, serikat-serikat buruh yang ada saat ini dapat digolongkan setidaknya menjadi tiga kelompok besar yakni, kelompok SPSI, kelompok eks-SPSI, dan kelompok non-SPSI. Kelompok eks-SPSI adalah serikat sektoral yang memisahkan diri dari SPSI, sementara kelompok non-SPSI adalah serikat yang samasekali tidak memiliki keterkaitan dengan atau independen dari SPSI. Kelompok non-SPSI ini juga dapat dikelompokkan setidaknya dalam dua kategori yakni, kelompok serikat di masa Orde Lama yang muncul kembali dan SB/SP yang sama sekali baru. Serikat buruh baru kategori terakhir ini selain muncul dengan basis buruh sektor industri manufaktur, juga muncul di sektor jasa antara lain keuangan, pariwisata, dan jurnalistik. Dasar kategorisasi tersebut tergambarkan dengan jelas dalam pohon silsilah asal mula serikat buruh. Sebagian besar SB/SP yang berdiri, secara institusional maupun individual, memiliki keterkaitan dengan SPSI. Ini menjelaskan mengapa di serikat-serikat pekerja pecahan SPSI, hampir tidak ada pendekatan pengorganisasian dan strategi baru yang berbeda dari SPSI.

Pohon silsilah juga menunjukkan, perpecahan serikat tidak hanya melanda SPSI, tetapi juga serikat-serikat eks-SPSI dan non-SPSI. Perbedaan-perbedaan yang sifatnya pragmatis–dalam arti lebih disebabkan oleh hal-hal praktis daripada hal-hal prinsip—lebih mewarnai sebab perpecahan serikat (lihat juga Hadiz 2005). Pada umumnya perpecahan diikuti oleh perebutan atau pembagian anggota. Ada kalanya anggota bahkan tidak tahu bahwa di tingkat nasional serikatnya sudah pecah. Keputusan anggota untuk bergabung di salah satu serikat yang pecah lebih didasari oleh kedekatan personal dengan para pengurus dibanding hal-hal yang bersifat prinsip organisasi.

Pengelompokan serikat tersebut tidak mencerminkan pengelompokan orientasi dan ideologi serikat, sebagai ciri kedua. Secara umum SB/SP di Indonesia, menganut prinsip unitaris dan tripartisme serta, dapat dikategorikan sebagai economic unionism atau business unionism yang membatasi perjuangan kepentingannya pada kesejahteraan anggota dalam kerangka hubungan kerja. Hal itu merupakan buah dari kebijakan rezim Orde Baru yang secara sistematis menghapus orientasi politik serikat/gerakan buruh dan menanamkan orientasi ekonomi melalui sistem Hubungan Industrial Pancasila (HIP), yang diakui merupakan sebuah konsep yang ideal dan menjadi koridor gerak serikat pekerja/serikat buruh.

Eksklusivisme adalah ciri ketiga SB/SP. Ada dua jenis eksklusivisme di sini: antara SB/SP dengan kelompok masyarakat lain dan di antara serikat sendiri. Arena dan agenda perjuangan serikat sangat terbatas pada isu-isu hubungan kerja di dalam pabrik, sementara dinamika sosial-ekonomi-politik di luar dinding pabrik luput dari perhatian (lihat AKATIGA-TURC-LABSOSIO, 2006). Tuntutan-tuntutan dalam aksi buruh juga tidak menarik bagi kelompok-kelompok masyarakat lain untuk mendukung dan memperluas dukungan terhadap perjuangan buruh. Hubungan dan aliansi SB/SP dengan kelompok masyarakat lainnya seperti kelompok tani, nelayan, dan lain-lain sangat terbatas. Kalaupun terjadi aliansi dengan kelompok-kelompok miskin lainnya, aliansi tersebut sifatnya di permukaan saja dan bukan merupakan strategi yang permanen dan melekat dalam keseluruhan strategi perjuangan mereka. Eksklusivisme juga melanda hubungan di antara sesama serikat, yang disebabkan oleh perebutan pengaruh dan pengakuan terhadap eksistensi mereka. Situasi itu selain menjadi bibit perpecahan, juga menyebabkan soliditas gerakan serikat pekerja/serikat buruh menjadi rentan.

Pergeseran politik keserikatburuhan yang cukup penting tersebut, terjadi dalam kerangka sistem hubungan industrial di Indonesia yang tidak berubah yakni, Hubungan Industrial Pancasila. HIP berfilosofikan hubungan perburuhan atau hubungan buruh-majikan atau hubungan industrial yang serba harmonis, di mana posisi buruh dan majikan adalah setara dan keduanya memiliki kepentingan yang sama serta di mana negara berperan untuk mengayomi keduanya (lihat juga Hadiz 1997; Manning 1998; Ford 2001). Meskipun istilah ini makin jarang terdengar tetapi, secara prinsip konsep ini masih mendominasi para aktor hubungan industrial. Meskipun demikian, dalam praktik untuk mengakomodasi tuntutan modal global dalam kerangka persaingan antar negara dalam merebut investasi, pendulum keberpihakan negara lebih sering bergerak ke arah majikan. Berbagai kebijakan yang melonggarkan ruang gerak pengusaha diciptakan, yang membawa implikasi langsung pada meningkatnya tantangan bagi pengorganisasian buruh.

Dimulainya era kebebasan berserikat, sangat bertolak belakang dengan situasi ketenagakerjaan di Indonesia. Krisis ekonomi telah meledakkan angka pengangguran, karena bergugurannya unit-unit usaha yang mengandalkan mata uang dollar AS dalam transaksi input-output produksinya. Pabrik-pabrik tutup meninggalkan barisan penganggur baru yang adalah anggota serikat buruh. Penting dicatat, sebelum krisis maupun setelahnya, serikat buruh di Indonesia didominasi oleh buruh kerah biru atau buruh pabrik. Ketika krisis melanda, barulah bermunculan serikat-serikat buruh di kalangan buruh kerah putih terutama, buruh sektor perbankan dan keuangan serta pariwisata. Para penganggur tersebut praktis menanggalkan keanggotaannya dari organisasi serikat buruh. Ini berarti populasi anggota serikat buruh berkurang. Pada saat yang sama, dengan persyaratan minimum anggota yang sangat mudah dipenuhi (10 orang sudah dapat mendirikan serikat buruh), muncul serikat-serikat buruh baru.

ditaut dari Serikat Buruh/Serikat Pekerja di Indonesia 1

2 comments:

Unknown said...

Kami mengenangmu dengan membaca tulisan ini, Kawan.

Unknown said...

Kami mengenangmu dengan membaca tulisan ini, Kawan.