Menyikapi situasi tersebut, para pemimpin dan pemikir bangsa Indonesia telah membuat banyak solusi dan kebijakan yang diharapkan mampu membendung gelombang kapitalisasi di segala bidang. Namun agaknya pada tataran pelaksanaan, pemerintah cenderung bersikap lebih akomodatif terhadap pihak pemodal dengan program industrialisasi yang kapitalistis di berbagai sektor, seperti : pertanian, perkebunan, kehutanan, manufaktur, otomotif, elektronika, dan lain-lain yang tentunya akan habis-habisan mengundang investor masuk ke Indonesia, dan di sisi lain, mengabaikan kepentingan rakyat dan bahkan menjadikan upah buruh murah sebagai komoditas utama dalam investasi.
Dalam meghadapi desakan buruh pun pemerintah lalai akan tugasnya mengemban amanat penderitaan rakyat dalam meningkatkan kesejahteraan dan mengentaskan mereka dari kubang lumpur kemiskinan, dan malah asyik berkongsi dengan pengusaha. Adalah doktrin hubungan industrialis pancasila (HIP) yang sebenarnya dimaksudkan untuk mengkompromikan kepentingan pemodal dengan kepentingan pekerjanya sehingga akan terciptalah sinergi dalam mencapai kemakmuran bersama ternyata selalu dijadikan alat propaganda dengan didukung organisasi serikat pekerja hasil penunggalan pemerintah, SPSI. Tentu saja kita semua mafhum bahwa di seantero belahan negara kita tercinta ini, banyak kenyataan di mana ada benturan-benturan kepentingan antara pemodal dengan pekerjanya, maka merekalah (pengusaha) yang akan memenangkan pertandingan. Tidak pernah ada yang namanya kompromi. Yang ada hanyalah kita dikalahkan dan dimiskinkan secara struktural.
- Program pelatihan keahlian/skill (atau apapun namanya);
- Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3);
- Program 5S;
- Program pembentukan divisi pengon-trol (production control);
- Program standarisasi ISO 9002;Dan lain-lain.
Bagi sebagian karyawan RPI, terutama yang berhubungan dan berinteraksi langsung, hal-hal tersebut di atas sangat menggembirakan karena dianggap bisa menjadikan terciptanya profesionalisme, efisiensi, dan efektivitas, serta rasa aman dalam bekerja. Siapa, sih, orangnya yang tidak suka kerja dengan lingkungan yang bersih dan tertata rapih? Siapa sih orangnya yang tidak suka bila setiap hendak memulai pekerjaan selalu disapa dan diingatkan oleh suara perempuan bak buluh perindu nan lembut dan merdu untuk berhati-hati?
Manajemen sehat pada akhirnya menyentuh kualitas kerja dan kesejahteraan karyawan. Benarkah demikian ?
Pertanyaan ini agaknya menggelitik. Pada kenyataanya penerapan manajemen tersebut tidak adil. Perusahaan melaksanakan kebijaksanaan itu hanya untuk menekan kedisiplinan dan kepatuhan karyawan terhadap perusahaan. Begitu menyentuh masalah kesejahteraan, perusahaan tampak setengah hati, ini bisa diprediksi dari kebijaksanaan yang di ambil, antara lain :
- Ketika target hasil produksi terlampaui, pihak manajemen perusahaan dengan berbagai dalih memberikan insentif (yang seharusnya diberikan dan sebagiannya adalah menjadi hak karyawan) secara tidak transparan dan mengesankan bahwa bonus yang diberikan adalah merupakan tanda kemurahhatian perusahaan. Bahkan lebih parah lagi, bisa kita lihat setiap kali perusahaan memberikan sesuatu diluar normatif selalu diikuti tuntutan konsesi berupa kedisiplinan yang tidak masuk akal dan tanpa menghiraukan rasa keadilan;
- Masalah rekruitmen karyawan pocokan dan kontrakan yang semrawut dan semau gue; karyawan yang mempunyai masa kerja yang lebih dari kesepakatan kerja bersama statusnya tidak jelas. Akibatnya karyawan tersebut terintimidasi secara mental karena tidak mempunyai masa depan bekerja di PT RPI;
- Kekosongan jabatan Staff dan anggota pada divisi produksi berbulan-bulan tidak diisi, padahal di dalam KKB disebutkan adanya promosi bagi karyawan yang ada di bawah jabatan kosong tersebut;
- Jargon-jargon K3 yang terlalu bombastis disertai berbagai macam lomba slogan tidak sesuai dengan kondisi lapangan. Banyak sekali kasus kecil pengingkaran terhadap komitmen dan kewajiban penyediaan perlengkapan K3 dan memberikan rasa aman dalam bekerja, yang pelaksanaannya jauh dari memadai. Kalaupun toh ada satu dua kasus besar yang penanganannya benar-benar bagus, itu hanyalah permukaan yang dilakukan guna memenuhi sarat nihil kecelakaan kerja dan nihil kebakaran. Bagai mana dengan alat K3 bulanan (masker & kaus tangan) yang jumlahnya cenderung di bawah kebutuhan? Bagaimana dengan proses pp alat K3 yang sering dipersulit dengan berbagai pertanyaan konyol dan penuh curiga? Bagai mana dengan nasib operator glue, emulsi, petugas laborat, dan ipal yang setiap hari musti bersentuhan dan menghirup pekatnya zat-zat kimia berbahaya?
- Jenjang jabatan tiap divisi yang berbeda-beda.
Kesemua hal tersebut di atas adalah gambaran situasi di pabrik kita yang sudah semestinya menjadi perhatian dan disikapi oleh para pengambil keputusan di PT RPI secara adil dan bijaksana, bukan malah ditutup-tutupi dan dibiarkan menjadi bara dalam sekam yang sewaktu-waktu bisa berkobar (bukankah bara sekecil apapun musti dicegah keberadaannya?). Janganlah dengan mengatasnamakan efisiensi dan efektivitas, lantas kepentingan karyawan (yang diakui ataupun tidak merupakan aset peru-sahaan) akan adanya rasa aman dalam bekerja, peningkatan kesejahteraan, dan kepastian akan masa depan keluarganya diabaikan begitu saja. Yang akan terjadi adalah pemiskinan dan pembodohan secara struktural.
Itu pasti! Bayangkan saja jika tidak adanya kepastian akan masa depan ini terus dibiarkan berlarut-larut. Bagi karyawan lajang hal ini tidak begitu menjadi masalah. Namun bagi karyawan dengan keluarga yang anak-anaknya sudah mencapai usia sekolah, maka duit yang selama ini hanya cukup untuk kebutuhan hidup primer(?) harus pula dibagi untuk anggaran baru, yaitu pendidikan yang sebenarnya adalah juga kebutuhan primer. Dan kembali mereka harus kembali melakukan hobi gali-tutup lubang sambil mengencangkan ikat pinggang yang sudah begitu ketat mengikat. Belum lagi jika salah satu anggota keluarga sakit dan harus menjalani rawat inap.
Di sisi lain, karyawan pun harus sadar dan ikhlas bahwa bekerja sungguh-sungguh merupakan kewajiban dalam hidup. Artinya: disiplin, tanggung jawab, tertib, hati-hati, cermat, jujur, dapat dipercaya adalah modal yang harus menyatu dengan nafas semangat sehari-hari.
Kebijakan manajemen, apapun bentuknya, hendaknya selalu dilandaskan atas asas moral (ketuhanan) karena di titik inilah semua dipertanggungjawabkan, dan niat baik untuk kemajuan bersama. Jika tidak memperhatikan keseimbangan dalam mengambil skala prioritas, jangan harap apapun program yang dicanangkan berjalan baik, malah sebaliknya akan timbul saling curiga antara pihak yang dipercaya menjadi pengelola manajemen dengan karyawannya. Dengan partisipasi karyawan rendah, program tidak akan mencapai sa-saran. Akhirnya dalam istilah saya, mana-jemen yang selama ini dikembangkan di RPI adalah manajemen SESS DORR!!! Menggebu-gebu dan penuh gebyar pada awalnya. Namun sesudah itu hilang ditelan waktu karena perencanaan yang kurang matang.
Ada satu hal mendasar dan sederhana dilupakan oleh para pengambil kebijakan di RPI, yaitu hukum aksi-reaksi yang akan memunculkan feedback yang sama bobotnya dengan arah yang berlawanan dalam setiap kebijakan yang diambil. Apabila represi yang diberikan, maka perlawananlah yang akan dituai. Dan jika jaminan kesejahteraan yang diberikan, maka produktivitas yang akan dijadikan alat pembayaran oleh karyawan. Marilah mulai saat ini kita saling introspeksi diri kita masing-masing. Tidak ada yang sempurna pada manusia. Berikan yang terbaik yang kita miliki. Bertindak atas dasar nurani dan iman, hal yang saat ini sudah dilupakan. Sehingga dengan de-mikian akan tercipta suasana kondusif dan nyaman di lingkungan pabrik kita ini.
0 comments:
Post a Comment