1st published on tebar Edisi II Tahun I Agustus 2003
Wacana jilbab di RPI akhir-akhir ini, meskipun tidak sempat tersebar luas di kalangan karyawan, terus berkembang dan tetap menjadi perdebatan yang belum dapat disepakati jalan keluarnya oleh masing-masing pihak berkepentingan. Dari situasi tersebut kemudian timbul satu pertanyaan sederhana dikaitkan dengan aturan perusahaan mengenai pakaian kerja : masih relevankah pelarangan pemakaian jilbab sebagai kelengkapan pakaian kerja?
Menanggapi desakan tuntutan tersebut, sikap perusahaan cukup keras pada awalnya. Artinya, pihak perunding perusahaan mengatakan sama sekali tidak ada ijin untuk menyertakan jilbab pada pakaian seragam kerja perempuan. Kemudian pada tahap perundingan berikutnya perusahaan mulai bersikap sedikit lebih lunak dengan mengatakan bahwa meskipun perusahaan tidak melarang, tidak ada aturan yang memperbolehkan pemakaian jilbab di RPI. Dalam perkembangan terakhir perusahaan memilih untuk memberikan kelonggaran dengan memperbolehkan karyawan perempuan mengenakan jilbab hanya pada waktu berangkat kerja dan pulang kerja. Jadi, pada jam kerja mereka tetap saja tidak bisa mengenakan jilbab. Agak absurd memang, namun itulah kenyataannya. Ada semacam ambivalensi (kemenduaan) dalam pengambilan sikap tersebut. Bagi karyawan yang mengenakan jilbab sebagai keyakinan keagamaan mereka, hal ini tentulah sangat mengganggu keleluasaan dalam menjalankan keyakinan agamanya tersebut. Toh, itu bukan harga mati, tentu masih ada harapan perubahan sikap perusahaan tersebut pada perundingan berikutnya.
Masih relevankah pembatasan pemakaian jilbab di RPI? Marilah kita kaji bersama secara kritis.
Ada hal mendasar dalam diri setiap manusia, yaitu akidah, yang merupakan inner-man dan suara hati yang kalau kita mau jujur mengakuinya, ada terkandung kebenaran yang hakiki di dalamnya. Di bawah akidah ada yang dinamakan ideologi, merupakan refleksi dari olah pikir manusia yang kebenarannya masih relatif serta memungkinkan untuk diperdebatkan sesuai dengan ruang atau waktu serta latar belakang sosial, budaya, tingkat pemahaman dan kepentingan masing-masing personal. Pada tataran pembuatan sebuah kebijakan/policy, sudah seharusnya bisa dipisahkan manakah yang menyangkut akidah atau ideologi. Secara geografis, kultur, sosial, budaya setempat, ada semacam hukum/kesepakatan yang tidak tertulis tetapi diyakini mempunyai kekuatan hukum dan tetap dijaga dan dipatuhi.
Tidak ada larangan sedikitpun di tingkat negara untuk menggunakan jilbab karena Indonesia tunduk pada instrumen hak asasi nasional maupun internasional yang menjamin penggunaan jilab sebagai hak rakyat untuk mengekspresikan keyakinan agamanya. Kalaupun masih ada larangan untuk menggunakan jilbab, itu cenderung larangan yang sifatnya lokal yang hanya berlaku di lingkungan suatu instansi.
Apakah larangan tersebut sifatnya legal? Tidak, larangan tersebut adalah bertentangan dengan UUD ’45, UU HAM No. 39 Th. 1999, dan pelbagai macam instrumen HAM internasional yang telah diratifikasi Indonesia. Karena bertentangan dengan hukum, maka peraturan lokal tersebut otomatis bersifat melawan hukum dan dapat digugat secara hukum. Di tanah air, jilbab tidak hanya dipakai orang tua, tapi juga para remaja, pekerja di kantor, instansi maupun pemerintahan, bahkan para artis sekalipun. Tentu, ia pun sarat makna. Di satu sisi, jilbab menjadi simbol pakaian muslimah santri, terutama yang berasal dari pesantren. Di sisi lain, ia dijadikan busana yang lazim dikenakan hanya pada momen-momen kerohanian —salat, pengajian, berkabung, bahkan saat menghadiri pesta pernikahan; sebaliknya tak dipakai pada berbagai aktivitas kesehariannya.
Pada akhir 1980-an, ribuan mahasiswi dan pelajar berjilbab membanjiri jalanan di berbagai kota besar. Mereka memprotes kebijakan Mendikbud yang melarang jilbab di sekolah-sekolah umum. Mereka ingin mengukuhkan identitas kemuslimahannya dengan mentradisikan berjilbab. Jilbab lebih dari sekadar kewajiban, tapi simbol kultural yang membedakan komunitas mereka (santri) dengan komunitas lainnya (abangan dan non-muslim).
Kalangan selebritis sibuk menutupi kepalanya yang biasa terbuka itu dengan jilbab di bulan Ramadhan. Jelas dalam hal ini pemakaian jilbab tak ada hubungan dengan kesalehan maupun ketaatan beragama. Sebab, begitu bulan suci itu usai, jilbabnya pun dilepas. Bagi mereka, berjilbab hanyalah tuntutan pasar; strategi untuk meraup keuntungan material dengan penampakan spiritual.
Apakah fenomena jilbab sebatas tren yang punya jangka waktu tertentu, atau lahir dari sebuah kesadaran kolektif keaga-maan? Murnikah hanya sebagai sebuah mo-de yang terselip unsur privacy di dalamnya, atau terselip unsur resistensi dan ideologi sebagai salah satu bentuk reaksi atau perlawanan terhadap kekuatan luar, seperti ke-cemasan dari dampak arus globalisasi, westernisasi, dan fenomena deislamisasi (penurunan nilai-nilai islam) lain?
Apakah fenomena jilbab punya andil di dalam maraknya aspirasi peraturan daerah (perda) syari'ah, ataukah sebaliknya, perda syari'ah menjadi faktor merebaknya fenomena jilbab? Atau semacam gayung bersambut, tren jilbab sebagai mode, privacy, dan resistensi, mendapatkan legitimasi struktural?
Jika jilbab tampil bukan hanya sebagai mode dan privacy, tetapi tampil sebagai su-atu kekuatan, pergerakan, pertahanan, dan proteksi, maka pada saat itu fenomena jilbab memiliki nuansa baru, bukan lagi hanya sebatas penutup aurat bagi perempuan tetapi memiliki kekuatan politik yang patut diperhitungkan.
Pendek kata, jilbab secara historis mempunyai banyak makna. Jilbab adalah sebuah fenomena majemuk, memiliki tingkat-tingkat makna dan beragam konteks. Persoalan jilbab tak lagi wajib-mubah, haram-halal, etis-tidak etis. Ia menyiratkan simbol sarat makna dan kepentingan, tergantung siapa pemakainya.
PT RPI yang berdomisili di Kab. Kendal ada baiknya memperhatikan budaya-budaya lokal yang masih begitu kental nuansa keislamannya, juga keputusan seseorang untuk memilih dalam berkeyakinan, dan kebijakan yang berlaku sehingga jati diri karyawan secara umum tidak tercerabut dari akarnya dan agar RPI menjadi lebih membumi di di kalangan masyarakat setempat. Di mana langit dijunjung di situ bumi di pijak. Terlepas apakah itu sebuah mode, trend atau yang lainnya, jilbab merupakan suatu atribut bagi si pemakai yang diharapkan dengan pemakaiannya itu merefleksikan isi hati dan pikiran yang tampak dalam perbuatan dan sikap. Kalau hal ini dipahami dengan benar niscaya akan ada nilai tambah dalam diri kaum perempuan pada waktu mereka bekerja. Saat bekerja bukan hanya mereka bertanggung jawab kepada pimpinannya secara langsung, tetapi ada suatu kesadaran bahwa mereka bertanggung jawab juga kepada Tuhan.
Kembali pada pertanyaan diatas, masih relevankah hal itu? Jawabannya ada dalam hati pembaca semua. (Chakiem, Subur)
0 comments:
Post a Comment