Dahulu, sebelum masa krisis (masa ORBA) serikat buruh independen tidak boleh hidup di Indonesia. Pemerintah saat itu lebih mementingkan sisi pengusaha dibandingkan sisi buruh. Buruh tidak berdaya melawan ‘organsisasi’ pemerintah dan pengusaha. Melawan paduan kekuasaan dan uang. Akibatnya buruh selalu menjadi marginal (terpinggirkan), bahkan dalam hitungan ongkos produksi pun gaji buruh merupakan elemen yang terendah dalam prosentase biaya-biaya produksi. Kesepakatan bipartit tentu tidak pernah bisa membela buruh yang pada saat itu dalam posisi yang sangat lemah (bahkan sebagian besar perusahaan melarang organisasi buruh) sementara lembaga tripartit menjadi pseudo institution (institusi semu) yang sama sekali tidak bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan buruh.
Hal ini wajar sebab pemerintahan saat itu berasumsi bahwa pembangunan memang bukan untuk pemerataan kesejahteraan melainkan untuk pertumbuhan ekonomi dan perluasan lapangan kerja untuk menyerap pertumbuhan angkatan kerja, walaupun fakta berkata semua intervensi pemerintah pada waktu itu justru menimbulkan akumulasi inefisiensi yang menyebabkan kita bangkrut. Industri kita penuh dengan subsidi yang salah sasaran, sedangkan pemerintahnya penuh dengan tindak korupsi. Keringat buruhlah yang membuat pengusaha dan koruptor bisa memiliki kemewahan seperti sekarang.
Bagaimana keadaan buruh sekarang? Di era reformasi secara politik buruh boleh demonstrasi meminta kenaikan upah boleh berorganisasi secara independen. Di sisi lain, secara ekonomi, kita sedang mengalami depresi ekonomi. Kenaikan upah secara teori, jika tidak berimbang dengan kenaikan produktivitas, akan mengakibatkan pengurangan di lapangan kerja. Artinya tarik menarik antara kenaikan upah dan dengan penciptaan lapangan kerja (paling tidak dengan mempertahankan buruh yang ada) akan berdampak pada resiko gejolak sosial jika kedua belah pihak tidak dapat menemukan jalan keluar yang ‘adil‘ bagi kedua belah pihak. Gejolak sosial inilah yang akan kita bayar jika kita memiliki pandangan myopic (picik). Posisi buruh secara riil tidak berubah dari tempatnya semula. Lemah terhadap negara dan pengusaha. Sama sekali tidak memiliki bargain (posisi penawaran).
Posisi buruh sekarang jika tetap ingin menda-patkan kehidupan yang lebih baik akan berhadapan dengan [1] PHK massal, karena pengusaha akan mengganti investasi padat karya dengan padat modal, memilih investasi ke luar negeri atau membangkrutkan perusahaannya; [2] Skorsing atau merumahkan buruh dengan alasan efisiensi ataupun disinsentif terhadap buruh yang ‘bandel’; [3] Pembersihan terhadap aktivis buruh dan larangan untuk melakukan serikat buruh; [4] Upah yang rendah, kenaikan UMP/UMK tetap tidak sebanding dengan kenaikan kebutuhan hidup minimum, apalagi bicara tentang proteksi masa depan.
Bagaimana reaksi pemerintah? Pemerintah memiliki kebijakan untuk memberlakukan upah minimum regional (seperti UMP/UMK ini) yang berbeda bagi setiap daerah untuk menetapkan sendiri sesuai dengan [1] Kebutuhan hidup minimum (KHM) yang dihitung dari indeks harga konsumen (IHK) dari Biro Pusat Statistik (BPS) yaitu kelompok pangan, kelompok papan, kelompok sandang dan kelompok lain-lain; [2] IHK dari Biro Pusat Statistik Daerah; [3] Kemampuan, perkembangan dan kelangsungan perusahaan; [4] Tingkat upah pada umumnya yang berlaku didaerah tertentu dan antar daerah (provinsi); [5] Kondisi pasar kerja; [6] Tingkat perkembangan ekonomi dan pendapatan perkapita (sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 01/Men/1999 tentang upah minimum). Ada kado untuk buruh yang diberikan oleh rezim Pemerintahan Megawati yaitu UU no 13 th. 2003 yang sudah mulai berlaku tapi di tingkat pelaksanaan masih membutuhkan penjabaran lebih rinci lagi melalui Keppres, peraturan pemerintah, dan Kepmen hingga saat ini belum ada walaupun menurut janji Yakob Nuawea sebagai menteri tenaga kerja adalah 6 (enam) bulan setelah disahkan 20 Februari 2003. Pada kenyataannya hal itu tidak bisa diwujudkan.
Menurut penelitian Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada tahun 2001 seperti dikutip Kompas (13/01/02), belanja riil buruh diluar KHM adalah Rp. 331.380,52 dan jika ditambah KHM menjadi Rp. 833.585,00 dengan catatan itu masih lajang! Buruh menikah tapi belum memiliki anak menghabiskan Rp. 350.000,19 dengan KHM menjadi Rp. 902.544,00. Buruh yang memiliki anak satu menghabiskan Rp. 369.312,92 atau dengan KHM sekitar Rp. 1.021.366,00. Buruh dengan dua anak menghabiskan Rp. 419.757,59 atau dengan KHM Rp. 1.205.115,00. Buruh dengan tiga anak menghabiskan Rp. 496.538,53 atau dengan KHM Rp. 1.399.333,00. Mungkin kita bertanya,” perhitungan tersebut kan tidak resmi?” Selama ini kita hanya tahu tim pengupahan dan LKS (Lembaga Kerjasama) Tripartit yang difasilitasi oleh Pemerintah dan lembaga ini nantinya hanya merekomendasikan kepada Gubernur tapi tidak mempunyai kewenangan secara langsung dalam menetapkan upah daerah, artinya keputusan final tetap ada ditangan Gubernur. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa KHM sejak tahun 1996 tidak pernah diberikan 100%. Di sini jelas sekali keberpihakkan pemerintah terhadap pengusaha.
Dalam pandangan kami LP3ES adalah lembaga independen yang mempunyai kepedulian terhadap kondisi upah buruh yang kemudian melakukan penelitian, mudah–mudahan hasil tersebut bisa untuk pembanding tentang kebutuhan hidup buruh sebenarnya. Sekarang jika berharap bahwa perhitungan didasarkan dari perbandingan upah antar wilayah, hasilnya pun akan tidak jauh berbeda mengingat situasi dan kondisi makro yang sama yang disebabkan gagalnya institusi pasar dan pemerintah pada berbagai sektor ekonomi. Pemerintah jangan cuma sok-sokan membela kaum buruh, namun distorsi terhadap pasar jauh lebih besar dampaknya dalam memiskinkan buruh dan masyarakat. Juga kebijakan (regulasi) yang menimbulkan biaya transaksi yang tinggi terhadap dunia usaha itu harus dikurangi. Belum lagi upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana ekonomi (skala kecil, besar, dan raksasa) yang masih belum kelihatan aktualisasinya. Dan segudang masalah lain yang selalu menyertai dunia usaha ketika pemerintah mengintervensi pasar hasilnya selalu kontraproduktif terhadap alokasi sumberdaya yang efisien.
Berharap kepada pengusaha? Sebagian besar merasa seperti berhakim kepada patung. Sejarah cuma mencatat derita panjang eksploitasi sepanjang hayat majikan terhadap buruh. Lantas bagaimana penyelesaiannya? Jalan terbaik adalah memandang buruh sebagai asset paling bernilai dalam perusahaan, baik sebagai asset tangible (input terhadap hasil produksi) maupun sebagai asset intangible (citra perusahaan, keberlangsungan perusahaan). Berikan proteksi masa depan kepada buruh sekarang. Bisa dalam bentuk kepemilikan saham perusahaan sebagai insentif produktivitas mereka di masa krisis dengan pembagian keuntungan yang diambil di masa datang.
Bisa juga dengan terus menerus memberikan ‘kenyamanan’ kepada buruh dalam berorganisasi dan melakukan tawar menawar secara kolektif terha-dap perusahaan tanpa ada represi. Kenyamanan politis ini tentu bisa dibarengi dengan usaha-usaha so-sial dari pihak manajemen perusahaan untuk melakukan pemberdayaan di tingkat keluarga buruh, misalnya dengan memberikan dana sosial bergulir bagi keluarga buruh. Tentunya alternatif ini berjalan dengan asumsi terbukanya pihak manajemen terhadap kondisi perusahaan dan berjalannya komunikasi antara buruh dan majikan.
Karena untuk keluar dari krisis ekonomi jika melihat dari pengalaman negara lain cuma dapat dilewati dengan selamat dengan cara kerjasama di antara majikan dan buruh demi kepentingan masa depan. Dan sudah saatnya pengusaha mengalah untuk solusi menang-menang, bukan mencari masalah baru seperti mendefaultkan (membekukan) perusahaan dan melakukan capital flight (pelarian modal) ke luar negeri. Percayalah, biaya sosialnya akan teramat mahal bagi kehidupan bersama dan kemanusiaan.[]
0 comments:
Post a Comment