Wednesday, January 03, 2007

KEJUTAN SANG DINAR

jiPublished on tebar Edisi II Tahun I Agustus 2003


Oleh : M. Anis Matta, Lc.


Harta, ternyata, punya cara kerja tersendiri dalam jiwa manusia. Karakternya sebagai salah satu dari trilogi godaan dunia memiliki kekuatan pengaruh yang tidak dapat diremehkan.

Dari instingnya, manusia membawa dorongan untuk memiliki. Jika insting itu menguat, maka ia akan berkembang menjadi keserakahan. Dan keserakahan menuntut sejenis proteksi terhadap semua harta yang telah diperoleh; maka lahirlah kebakhilan.

Hanya spirit kezuhudan yang dapat menyeimbangkan dorongan memiliki dalam jiwa kita. Jika kecenderungan zuhud itu menguat, maka ia akan berkembang menjadi kemurahan hati. Dan kemurahan hati pasti akan keluar mencari salurannya; maka lahirlah kedermawanan.

Zuhud adalah perasaan tidak butuh kepada ‘dunia’ justru ketika dunia itu ada dalam genggaman tangannya. Secara naluriah, kecenderungan manusia kepada dunia spiritual akan menguat setelah ia relatif terpuaskan dalam kehidupan materi. Maka seorang pahlawan yang lahir dari keluarga kaya lebih mudah menjadi zuhud, ketimbang seorang pahlawan yang lahir dari keluarga miskin. Sebaliknya, seorang pahlawan dari keluarga miskin lebih mudah bersabar, ketimbang seorang pahlawan yang lahir dari keluarga kaya. Tentu saja selalu ada pengecualian.

Masalah biasanya muncul jika seseorang menjadi kaya justru di tengah perjalanan kepahlawanannya; menjadi orang kaya baru. Secara normal ia membutuhkan pemuasan materi. Tapi disitu juga tersimpan godaan; tekanan kemiskinan dalam perjuangan yang panjang seringkali melahirkan semangat ‘balas dendam’ yang dahsyat. Dunia kini hadir di pelupuk mata dengan sisinya yang indah, penuh kenyamanan dan serba mudah.

Tidak semua pahlawan kuat menghadapi godaan itu. Bukan hanya karena harta mungkin saja mengubah seseorang menjadi serakah dan bakhil serta mudah berkonflik, tapi karena kemudahan dan kenyamanan dapat melahirkan kemalasan dan melumpuhkan semangat bekerja, berkarya, dan berjuang. Itu juga sebabnya Umar bin Khattab tidak memberikan jabatan-jabatan publik kepada para pembesar sahabat, dan tidak mengijinkan mereka keluar dari Madinah, bahkan termasuk untuk misi jihad. “Jauh lebih baik bagimu untuk tidak melihat dunia, dan sebaliknya dunia tidak melihatmu,” kata Umar untuk membenarkan tindakannya.

Membangun ‘adab jiwa’ yang luhur ketika seorang pahlawan merangkak menjadi kaya, adalah pelajaran maha penting yang diwariskan oleh para pahlawan terdahulu. Suatu saat ketika Abdurrahman bin Auf sedang berbuka puasa, beliau mengatakan:

Mus’ab telah syahid dan ia lebih baik dariku, padahal kain kafannya tidak cukup untuk menutupi seluruh tubuhnya. Jika kepalanya ditutup, maka kakinya terlihat. Jika kakinya ditutup, maka kepalanya terlihat. Hamzah telah syahid dan ia lebih baik dariku, padahal tidak ada kain kafan yang ditemukan untuknya kecuali burdah-nya. Lalu dunia pun dibuka lebar untuk kami. Dan aku khawatir yang terjadi hanyalah bahwa kebaikan-kebaikan kami telah sengaja dibalas labih dulu, hingga tak ada lagi yang akan kita peroleh di akhirat.”

Diambil dari rubrik "Serial Kepahlawanan ke-62"

Majalah Tarbawi Edisi 61 th. 4/Rabi’ul Tsani 1424 H /12 Juni 2003

0 comments: